PDF| Kualitas lingkungan hidup saat ini sebagian besar mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, sehingga perlu dilakukan | Find, read and cite all the research

Abstrak Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral maupun profan. Kearifan lokal telah menjadi tradisi-fisik-budaya, dan secara turun-temurun menjadi dasar dalam membentuk bangunan dan lingkungannya, yang diwujudkan dalam sebuah warisan budaya arsitektur perkotaan. Arsitektur perkotaan dan lingkungan binaan, yang digali dan sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam 'wajah atau wacana ke-indonesiaan' niscaya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi terciptanya identitas baru keseluruhan bagi bangsa secara keseluruhan. Di dalam permukiman tradisional, dapat ditemukan pola atau tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat tertentu. Hal tersebut memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu lingkungan hunian atau perumahan tradisional. Nilai-nilai adat yang terkandung dalam permukiman tradisional menunjukkan nilai estetika serta local wisdom dari masyarakat tersebut. Keanekaragaman sosial budaya masyarakat pada suatu daerah tidak terbentuk dalam jangka waktu yang singkat. Demikian pula, penggunaan teor-teori untuk menggali kearifan lokal, dapat mengungkapkan nila-nilai arsitektur bangunan maupun kawasan dari suatu tempat. Dengan demikian local wisdom kearifan lokal/setempat dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat local yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat. Kata kunci kearifan lokal, arsitektur perkotaan, persepsi budaya. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Seminar Nasional “Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 1Kearifan Lokal dalam Arsitektur Perkotaan dan Lingkungan Binaan Antariksa E-mail antariksa E-mail Abstrak Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral maupun profan. Kearifan lokal telah menjadi tradisi-fisik-budaya, dan secara turun-temurun menjadi dasar dalam membentuk bangunan dan lingkungannya, yang diwujudkan dalam sebuah warisan budaya arsitektur perkotaan. Arsitektur perkotaan dan lingkungan binaan, yang digali dan sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam 'wajah atau wacana ke-indonesiaan' niscaya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi terciptanya identitas baru keseluruhan bagi bangsa secara keseluruhan. Di dalam permukiman tradisional, dapat ditemukan pola atau tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat tertentu. Hal tersebut memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu lingkungan hunian atau perumahan tradisional. Nilai-nilai adat yang terkandung dalam permukiman tradisional menunjukkan nilai estetika serta local wisdom dari masyarakat tersebut. Keanekaragaman sosial budaya masyarakat pada suatu daerah tidak terbentuk dalam jangka waktu yang singkat. Demikian pula, penggunaan teor-teori untuk menggali kearifan lokal, dapat mengungkapkan nila-nilai arsitektur bangunan maupun kawasan dari suatu tempat. Dengan demikian local wisdom kearifan lokal/setempat dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat local yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat. Kata kunci kearifan lokal, arsitektur perkotaan, persepsi budaya 1. PENDAHULUAN Penegasan dalam arsitektur perkotaan sudah sangat jelas, bahwa konteks budaya yang terdapat di dalamnya, menjadi bagian utama untuk digali dan dicari. Apa yang melatarbelakanginya dan bagaimana cara mengungkapkannya, agar nilai budaya itu dapat memberikan arti dan membuka wawasan bagi perencanaan dan perancangan perkotaan di masa mendatang. Perjalanan budaya suatu kawasan yang di dalamnya terdapat manusia dan bangunan, telah memberikan ciri khas pada kehidupan masyarakat dalam sejarah peradaban bangsa. Peradaban sendiri, diistilahterjemahkan dari civilization, dengan kata latin civis warga kota dan civitas kota; kedudukan warga kota. Hal itu diistilahkan oleh Franz Boas menjadi lahirnya kultur sebagai akibat dari pergaulan manusia dengan lingkungan alamnya. Meliputi budaya materiil, relasi sosial, seni, agama, dan sistem moral serta gagasan dan bahasa. Definisi budaya juga memberikan tekanan pada dua hal pertama, unsur-unsurnya baik yang berupa adat kebiasaan atau gaya hidup hidup masyarakat yang bersangkutan; dan kedua, fungsi-fungsi yang spesifik dari unsur-unsur tadi demi kelestarian masyarakat dan solidaritas antar individu Antariksa, 2009b. Kearifan lokal telah menjadi tradisi-fisik-budaya, dan secara turun-temurun menjadi dasar dalam membentuk bangunan dan lingkungannya, yang diwujudkan dalam sebuah warisan budaya perkotaan. Benar adanya bahwa, pengakuan tentang warisan budaya cultural heritage yang di dalamnya terdapat konservasi, adalah merupakan bagian dari tanggungjawab seluruh tingkatan pemerintahan, dan anggota masyarakat, sedangkan heritage itu sendiri, adalah bukan sekedar mendata masa lampau, tetapi merupakan bagian integral dari identitas perkotaan saat ini dan masa mendatang. Menampilkan kembali atau mempertahankan ruang kota masa lalu, berarti memperhatikan elemen-elemen jalan street-furniture dan pembentuk ruangnya, baik tata hijau soft-landscape maupun perkerasannya hard-landscape. Ahli perkotaan Witold Rybezynski mengatakan “budaya telah menjadi industri besar di beberapa kota tua”. Kota-kota tetap pada lokasi dari budaya yang paling utama –museum, teater, auditorium, dan universitas, juga pabrik-pabrik dan beberapa kantor– ada pada suburbans. Mereka menjadi tujuan wisata karena daya tarik budayanya. Bagian yang paling menonjol dari budaya kota-kota di Eropa adalah lingkungan binaan bersejarah. Seminar Nasional “Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 22. HASIL DAN PEMBAHASAN Mencari Makna Kaerifan Lokal Dalam pengertian kamus, kearifan lokal local wisdom terdiri dari dua kata kearifan wisdom dan lokal local. Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom kearifan sama dengan kebijaksanaan. Secara umum makna local wisdom kearifan setempat dapat dipahami sebagai gagasan setempat local yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat. Menurut Gobyah dalam Sartini 2004112 mengatakan bahwa kearifan lokal local genius adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan maupun produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Pada bagian lain, Geriya dalam Sartini 2004112, mengatakan bahwa secara konsepsual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga. Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan reinforcement. Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama. Sartini, 2004112 Kearifan-kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan dalam pembentukan jatidiri bangsa secara nasional. Kearifan-kearifan lokal itulah yang membuat suatu budaya bangsa memiliki akar Sayuti, 2005. Motivasi menggali kearifan lokal sebagai isu sentral secara umum adalah untuk mencari dan akhirnya, jika dikehendaki, menetapkan identitas bangsa, yang mungkin hilang karena proses persilangan dialektis seperti dikemukakan di atas, atau karena akulturasi dan transformasi yang telah, sedang, dan akan terus terjadi sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Bagi kita, upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa di atas dasar identitas daerah-daerah Nusantara Sayuti, 2005. Dalam kaitan ini, kearifan lokal yang terkandung dalam sistem seluruh budaya daerah atau etnis yang sudah lama hidup dan berkembang adalah menjadi unsur budaya bangsa yang harus dipelihara dan diupayakan untuk diintegrasikan menjadi budaya baru bangsa sendiri secara keseluruhan. Pengembangan kearifan-kearifan lokal yang relevan dan kontekstual memiliki arti penting bagi berkembangnya suatu bangsa, terutama jika dilihat dari sudut ketahanan budaya, di samping juga mempunyai arti penting bagi identitas daerah itu sendiri. Kearifan lokal yang juga meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu, dengan demikian, juga berfungsi untuk membangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak kehidupan masa sekarang. Karya-karya arsitektur perkotaan, yang digali dan sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam 'wajah atau wacana ke-indonesiaan' niscaya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi terciptanya identitas baru keseluruhan bagi bangsa secara keseluruhan. Menurut Juwono 200576, identitas keruangan adalah salah satu kekayaan sosial budaya untuk meneguhkan keberadaan masyarakat dalam proses perubahan sosial budaya lingkungannya. Dalam perancangan kota, penguatan akan potensi lokal menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi dampak permasalahan peningkatan konflik serta adanya kesenjangan menjadi persoalan yang urgen. Perhatian terhadap potensi lokal arsitektur kawasan sebagai “daya tarik serta keunggulan” kota menjadi penyeimbang sinergi globalisasi lokal Eade, 1977. Kekuatan dari kearifan lokal tersebut berupa nilai masa lalu atau saat ini maupun perpaduan dari keduanya yang memiliki signifikasi dan keunikan. Kenyataan kota-kota dalam masa sekarang ini cenderung kehilangan kekuatan tradisi kelokalannya yang Seminar Nasional “Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 3semakin larut masuk dalam dinamika global. Konservasi kawasan merupakan sebuah tantangan dalam perancangan kota, hal ini dimungkinkan karena proses perkembangan dan pertumbuhan kota untuk memperhatikan nilai histories dan dinamika dari kawasan tersebut. Kearifan Lokal dalam Tatanan Tradisionalistik Di dalam permukiman tradisional, dapat ditemukan pola atau tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat tertentu. Hal tersebut memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu lingkungan hunian atau perumahan tradisional. Nilai-nilai adat yang terkandung dalam permukiman tradisional menunjukkan nilai estetika serta local wisdom dari masyarakat tersebut. Terdapat suatu elemen utama dari hal yang sakral tersebut pada permukiman tradisional. Jika permukiman dianggap sebagai suatu lingkungan yang diperadabkan, maka bagi kebanyakan masyarakat tradisional di lingkungan tersebut, menurut ketentuan, merupakan lingkungan yang sakral atau disucikan. Alasan pertama adalah karena orang-orang banyak berpandangan bahwa masyarakat-masyarakat tradisional selalu terkait dengan hal-hal yang bersifat religius. Agama dan kepercayaan merupakan suatu hal yang sentral dalam sebuah permukiman tradisional. Hal tersebut tidak dapat terhindarkan, karena orang-orang akan terus berusaha menggali lebih dalam untuk mengetahui makna suatu lingkungan yang sakral atau disucikan, karena hal itu menggambarkan suatu makna yang paling penting. Kedua, sebuah pandangan yang lebih pragmatik, adalah bahwa hal yang sakral tersebut serta ritual keagamaan yang menyertainya dapat menjadi efektif untuk membuat orang-orang melakukan sesuatu di dalam sesuatu yang disahkan atau dilegalkan Rapoport, 1969. Pola tata ruang permukiman tradisional Aceh merupakan khasanah warisan budaya yang cukup menonjol, diciptakan dan didukung oleh masyarakat yang bercirikan Islam dan kultur budaya setempat, sehingga pola tata ruang yang terbentuk mempunyai nilai-nilai religi dan budaya yang sangat tinggi. Secara tradisional, pola pemukiman di Aceh terdiri dari rumah-rumah yang dikelompokkan berdasarkan kekerabatan yang diselingi dengan wilayah terbuka yang berfungsi sebagai wilayah publik dan wilayah penyangga hijau. Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, jejak-jejak kearifan para arsitek jaman dahulu masih dapat ditemukan. Seperti rumah-rumah tradisional lain di Asia Tenggara, rumoh rumah Aceh berupa rumah panggung, yang dirancang sesuai dengan kondisi iklim, arah angin dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Tidak sekadar sebagai hunian, rumoh Aceh juga menyiratkan budaya dan tata cara hidup orang Aceh yang kaya makna. Rumoh Aceh hingga kini masih bisa ditemui di desa-desa di kawasan pantai timur, mulai dari Aceh Timur hingga Aceh Besar. Namun, jumlahnya terus berkurang. Salah satu permukiman tradisional yang masih bertahan adalah Gampong Lubuk Sukon, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar. Gampong ini terletak di dataran rendah, dekat dengan pegunungan, yang sebagian besar rumah penduduknya adalah rumah panggung tradisional Aceh yang terbuat dari kayu. Rumah-rumah di Gampong Lubuk Sukon, secara bijak dirancang dengan prinsip tahan gempa. Observasi Hurgronje 1985 membuktikan bahwa hunian masyarakat permukiman Aceh telah disesuaikan terhadap ancaman bencana gempa dan banjir. Orang Aceh, khususnya yang bermukim di wilayah Banda Aceh dahulu disebut dengan Kutaradja dan Aceh Besar, sejak tahun 1600 telah sadar bahwa letak kota mereka secara geografis tidak terlalu baik Lombard, 2006. Pola yang terbentuk dari keseluruhan sistem permukiman masyarakat Gampong Lubuk Sukon memiliki makna dan tujuan tertentu berdasarkan konsep-konsep lokal yang telah terbukti dapat lebih diterima oleh masyarakat penggunanya. Kebijakan mengenai aspek adat dan kehidupan Gampong yang tertuang dalam bab VII Qanun nomor 4 tahun 2003 yang menyatakan bahwa Gampong berhak untuk merancang dan menetapkan reusam Gampong tata krama peradatan di Aceh untuk mengatur kehidupan warganya, menjadi dasar untuk menghidupkan kembali adat yang semakin menghilang akibat pergeseran nilai-nilai masyarakat. Oleh karena itu, penjelasan mengenai konsep bermukim sangat penting dalam kaitannya dengan proses pembentukan lingkungan permukiman. Melalui latar belakang dan pengalaman sejarah, dan pemahaman mengenai pola tata ruang permukiman yang sesuai dengan nilai-nilai tradisional masyarakat Aceh, diharapkan dapat mengakomodasi, menghormati dan memelihara keberadaan Gampong, sekaligus sebagai wujud pelestarian tata ruang tradisional sebagai identitas budaya bangsa. Burhan, 2008 Seminar Nasional “Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 4Pengaruh kepercayaan pada permukiman Dusun Sade Lombok, antara lain terlihat pada pemilihan lokasi permukiman dan orientasi bangunannya. Lokasi permukiman dipilih pada daerah yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya, yaitu pada daerah perbukitan dengan pertimbangan sebagai berikut Mahayani, 199535 1 Kepercayaan terhadap kosmos tentang adanya kekuatan alam gaib yang barada di alam atas dan dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai sumber rahmat keselamatan sekaligus kutukan dan kesengsaraan; 2 Faktor keamanan, puncak bukit merupakan tempat yang strategis untuk mengatur pertahanan mengingat adanya konflik antara Dusun Sade dengan dusun-dusun lainnya; 3 Faktor kesuburan tanah, perbukitan merupakan daerah yang kurang subur karena banyak mengandung kapur, sedangkan daerah sekitarnya yang berupa dataran rendah merupakan daerah yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian untuk mata pencaharian masyarakat setempat. Rumah-rumah di Dusun Sade terbuat dari bahan-bahan yang berasal dari alam, seperti kayu, bambu dan alang-alang, dengan letak rumah yang berderet dan berdekatan, sehingga membentuk pola linear dengan orientasi ke arah timur dan barat. Arah orientasi rumah-rumah tersebut tidak tepat menghadap ke timur dan barat melainkan agak miring sesuai dengan topografi kawasan. Orientasi ini didasarkan kepada arah matahari yang dipercaya akan memberikan berkah. Arah timur diartikan sebagai penewu jelu, yaitu tempat matahari terbit dan arah barat diartikan sebagai penyerap jelu, yaitu tempat matahari terbenam. Selain itu juga adanya pantangan untuk menghadap ke utara karena mengarah ke Gunung Rinjani yang dianggap sebagai tempat suci karena merupakan tempat bersemayamnya Dewa Gunung Rinjani, yaitu dewa tertinggi yang menguasai seluruh Pulau Lombok Krisna, 2005. Rumah-rumah tersebut memiliki ukuran yang sama dengan menggunakan bahan-bahan dari alam sekitar serta memiliki bentuk yang sederhana. Keseragaman pada bentuk maupun bahan bangunan yang digunakan, diartikan sebagai kesamaan asal usul yaitu dari segumpal tanah. Oleh karena itu, sebagai manusia yang sama asal dan derajatnya maka rumah tinggal sebagai tempat hunian mereka di dunia juga harus sama. Ciri dari permukiman tradisional sebagai wujud budaya khas adat dapat ditemukan pada pola perumahan taneyan lanjhang yang merupakan ciri khas arsitektural Madura yang memiliki tatanan berbeda dengan nilai adat tradisi Madura yang kental mengusung nilai dan sistem kekerabatan yang erat dan masih dapat ditemukan kesakralannya pada beberapa wilayah di Pulau Madura. Karakteristik orisinil masyarakat Madura cenderung memiliki corak perumahan tidak mengarah pada bentuk desa berkerumun tetapi lebih kepada corak berpencar. Membuat koloni-koloni dalam rupa kampung-kampung kecil. Ada juga satu pekarangan yang terdiri dari empat atau lima keluarga. Ekspresi ruang pada susunan rumah tradisional Madura, atau yang lazim disebut taneyan lanjhang adalah salah satu contoh hasil olah budaya yang lebih didasarkan kepada makna yang mendasari pola pemikiran masyarakatnya. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh keberadaan dan cara hidup masyarakatnya. Makna ruang tidak hanya didasari oleh pengertian estetis dan visual semata. Pemaknaan lebih didasarkan kepada esensi terdalam dari apa yang ada dalam alam pemikiran masyarakatnya karena itulah ekspresi visual adalah cerminan nilai dasar dari jati diri masyarakatnya Tulistyantoro, 2005. Pola perumahan taneyan lanjhang, merupakan pola yang terbentuk karena adanya tradisi bermukim masyarakat Desa lombang dipengaruhi oleh garis matrilineal dengan membentuk satu pola permukiman yang disebut sebagai pola permukiman taneyan lanjhang halaman panjang. Menurut Zawawi Imron survey primer 2008, permukiman taneyan lanjhang merupakan konsep bermukim yang mengacu pada kekerabatan yang mengandung ajaran untuk memberikan eksistensi pada perempuan. Sedangkan menurut Edy, budayawan Madura survey primer 2008 dikatakan bahwa konsep taneyan lanjhang yang merupakan budaya bermukim masyarakat Madura pada umumnya timbul karena kondisi geografis yang kurang menguntungkan kering/tandus menyebabkan diperlukan banyak tenaga untuk mengelola lahan tersebut sehingga perempuan dianggap sebagai aset bagi keluarga dalam menambah jumlah tenaga membawa suami untuk masuk ke dalam lingkungan keluarga perempuan karena berlakunya tradisi matrilokal. Taneyan sendiri difungsikan sebagai pengikat antar bangunan yang menunjukkan kekerabatan yang erat matrilokalitas serta sebagai orientasi dan arah hadap bangunan. Dewi, 2008 Kegiatan adat dan budaya yang berkembang di Desa Trowulan merupakan perpaduan antara nilai tradisi Jawa dan Majapahit, tradisi tersebut masih dipakai di tengah kehidupan masyarakatnya. Tradisi yang paling dominan dan menonjol adalah hanya bersifat periodik atau waktu tertentu, yaitu cok bakal, tingkep, among-among, tandur, keleman, wiwit dan bersih desa. Tradisi dan budaya tersebut mempengaruhi bentuk pola permukiman pola hunian baik internal maupun eksternal. Seminar Nasional “Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 5Aspek pola hunian menguraikan mengenai tipologi desa dan pola permukiman desa. Pola permukiman yang ada di Desa Trowulan terdiri atas, mengumpul dengan orientasi rumah adalah halaman yang digunakan secara bersama komunal, linier dengan orientasi rumah adalah jalan, serta linier memusat dengan orientasi rumah adalah jalan dan cenderung terpisah dengan dusun yang lain. Pola permukiman ini kemudian di bagi lagi menjadi unit yang lebih kecil lagi, yaitu pola hunian. Karakteristik non fisik masyarakat pada pola hunian dengan orientasi halaman bersama cenderung melakukan aktivitas sosial dan sistem nilai yang sama, hal ini didukung dengan hubungan kekerabatan yang ada masih sangat erat, karena mereka adalah satu keturunan yang sama. Secara umum bentuk arsitektur tradisional di daerah Kabupaten Mojokerto, sebuah kawasan peninggalan kerajaan Majapahit dapat dilihat bahwa perkembangan arsitektur Mojokerto dipengaruhi oleh dua budaya etnis, yaitu budaya Jawa dan budaya Madura. Kedua budaya inilah yang nampaknya sangat dominan pengaruhnya, walaupun sebenarnya masih terdapat etnis lain, seperti suku Osing dari Banyuwangi dan para pendatang yang sebagian besar berasal daerah pesisir. Dengan demikian maka pola permukiman yang ada di Kabupaten Mojokerto sedikit banyak mempunyai persamaan dengan pola permukiman yang berkembang di daerah Madura. Permatasari, 2008 Peninggalan Kolonial dan Kearifan Lokal Bangunan peninggalan Kolonial Belanda yang masih ada di Kawasan Oranjebuurt terdiri dari bangunan yang dibangun pada perioede awal tahun 1900 sampai dengan sebelum tahun 1930 sekitar tahun 1914-1918 dan bangunan yang dibangun sekitar tahun 1930-an. Bangunan yang dibangun sekitar tahun 1914-1918 memiliki desain bangunan yang secara keseluruhan terkesan lebih dekoratif dan detail dari bangunan berlanggam tahun 1930-an. Secara umum, fasade bangunan pada masing-masing sisi ruas jalan di Kawasan Oranjebuurt Kota Malang kurang memiliki legibilitas kemudahan untuk dipahami atau dibayangkan dan dapat diorganisir sebagai suatu pola yang koheren. Unsur irama sebagai pengikat pola maupun urutan klimaks dan anti klimaks sulit ditemukan karena perubahan fisik bangunan baru tidak memperhatikan harmonisasi dengan bangunan yang telah ada sebelumnya. Walaupun hanya tersisa beberapa bangunan, masih terdapat beberapa bangunan peninggalan Kolonial Belanda yang memperlihatkan suatu harmonisasi antar fasade bangunannya, pengakitan yang digunakan di antarnya adalah proksimity, reproduksi dan penutup berkesinambungan. Skala ketinggian bangunan di Kawasan Oranjebuurt tidak membentuk suatu kesan ruang, karena memiliki garis sempadan bangunan yang cukup besar, sehingga jarak antar muka bangunannya rata-rata empat kali lebih besar dari ketinggian bangunan. Novayanto, 2008 Keteraturan ruang pada Kawasan Oranjebuurt secara makro terbentuk oleh kaitan visual ruang terbuka open space/void yang lebih dominan, sedangkan massa bangunan solid lebih kepada sebagai infill saja. Void yang membentuk kaitan visual di Kawasan Oranjebuurt terdiri dari struktur jaringan jalan yang memperkuat orientasi kawasan. Solid atau massa yang terdapat di Kawasan Oranjebuurt memiliki peran dalam elemen perkotaan sebagai blok medan, yaitu sebagai massa yang memiliki berbagai macam bentuk dan orientasi, namun masing-masing tidak dilihat sebagai individu, melainkan dilihat sebagai keseluruhan massa secara bersama. Novayanto, 2008 Persepsi Budaya dalam Arsitektur Perkotaan Persepsi budaya dalam perkotaan pertama digunakan dalam antropologi. Hal ini ditegaskan oleh Clifford Geertz dalam The Interpretation of Culture 1973, seikat dari aktifitas dan nilai yang membentuk karakter dari masyarakat, dalam kasus ini adalah masyarakat perkotaan. Kedua, digunakan secara terbatas di tempat budaya disamakan dengan seni dan kebiasaan, dan terutama dengan bidang melukis dan musik. Dalam pandangan Lewis Mumford melalui The Culture of Cities 1938nya mengatakan bahwa, kota mempunyai creative focal points bagi masyarakat, dan kota ..….. adalah titik maksimum konsentrasi untuk power and culture dari komuniti. Kota dibentuk oleh budaya, tetapi sebaliknya kota dipengaruhi wujud dari budaya itu. Kota dibentuk bersama-sama dengan langgam, menurut Mumford sangat manusiawi, dan merupakan “greatest work of art”. Di dalam kota, waktu menjadi visibel, dengan lapisan-lapisan dari masa lalu yang masih bertahan pada buildings, monuments, dan public ways. Peran budaya terhadap kota dalam The City 1905, Max Weber mengatakan bahwa konsep kota menekankan kesopanan urbanity – wujud kosmopolitan Seminar Nasional “Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 6dari urban experience. Melalui wujudnya, sebuah kota dimungkinkan menjadi puncak dari individual dan inovasi, dan hal ini menjadi instrumen dari perubahan sejarah. Dalam perkembangan penulisan sejarah di Amerika, Eric Lampard mencoba mendefinisikan sejarah kota dengan sejarah dari “urbanisasi sebagai proses kemasyarakatan”, bukan sejarah dari “kota”. Hasil dari sejarah kota yang demikian itu kemudian diberi nama the new urban history. Maksud dari pembatasan ini ialah untuk mengembalikan bidang sejarah kota kepada gejala kekotaan yang khas, yang menekankan kekotaan sebagai pusat perhatian sejarah. Kuntowijoyo 200364 Di sini urbanisme menjebak masyarakat dalam kebebasan untuk menentukan tempat kehidupan berarsitektur dalam lingkungan binaannya. Pengaruh dari perkembangan arsitektur telah membebani kehidupan berarsitektur masyarakat perkotaan dan perdesaan. Aspek tatanan budaya dan fisik mereka dijadikan objek sebuah tatanan baru yang berbeda dengan geografis-kultural setempat, sehingga menenggelamkan kerifan lokal yang mereka punyai. Keanekaragaman sosial budaya masyarakat pada suatu daerah tidak terbentuk dalam jangka waktu yang singkat. Namun terbentuk melalui sejarah yang panjang, perjalanan berliku, tapak demi tapak yang terjadi secara turun temurun dari berbagai generasi. Pada titik tertentu terdapat peninggalan-peninggalan yang eksis atau terekam sampai sekarang yang kemudian menjadi warisan budaya. Dengan demikian, proses perjalanan sejarahnya pun tidak dapat dipolitisasi bahkan direkayasa. Hal ini menjadi penting agar tidak menghentikan tradisi budaya mereka yang sudah berjalan secara turun-temurun sebagai warisan. Teori Sebagai Alat Pengungkap Kearifan Lokal Di kota-kota yang memiliki kekuatan fisik struktural dapat dilakukan dengan pendekatan fisik Trancik, 1986, di samping pendekatan yang memperlihatkan aliran hubungan dan interaksi serta nilai-nilai kontekstual ruang. Setiap kota memiliki banyak fragmen tinggalan masa lalu, yaitu kawasan-kawasan bersejarah kota yang berfungsi sebagai bagian yang terdapat di dalam kota. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk menggali kearifan lokal, adalah elemen penghubung, yaitu elemen-elemen dari linkage satu kawasan ke kawasan lain untuk membantu orang agar mengerti fragmen-fragmen kota sebagai bagian dari suatu keseluruhan yang lebih besar Zahnd, 1999108. Pendekatan lain adalah figure ground sering dipergunakan untuk mendeskripsikan pola masif dan void tata ruang perkotaan kawasan. Berdasarkan teori figure/ground, suatu tata kota dapat dipahami sebagai hubungan tekstual antara bentuk yang dibangun building mass dan ruang terbuka open space. Figure/ground adalah alat yang sangat baik untuk mengidentifikasikan sebuah tekstur dan pola-pola sebuah tata ruang perkotaan urban fabric, serta mengidentifikasikan masalah keteraturan massa/ruang perkotaan Zahnd, 199979. Kemudian teori place dipergunakan untuk memahami seberapa besar kepentingan tempat-tempat perkotaan yang terbuka terhadap sejarah, budaya dan sosialisasinya. Analisis place adalah alat yang baik untuk i memberi pengertian mengenai ruang kota melalui tanda kehidupan perkotaannya; dan ii memberi pengertian mengenai ruang kota secara kontekstual Zahnd, 199970. Secara fisik, sebuah ruang space akan ada kalau dibatasi sebagai sebuah void dan sebuah space menjadi sebuah place kalau mempunyai arti dari lingkungan yang berasal dari budaya setempatnya Trancik, 1986. Pendekatan citra kota memberikan arah pendangan kota ke arah yang memperhatikan pikiran terhadap kota dari orang yang hidup di dalamnya. Makna sebuah tempat dapat diungkapkan berdasarkan elemen-elemen pembentuk citra. Tiga dari lima elemen yang dapat mengungkapkan makna dari ciri perkotaan, yaitu district kawasan, node simpul, edge batas serta landmark tengeran Lynch, 1960, kelima elemen ini tidak dapat dipandang secara terpisah antara satu dengan lainnya. Karena kelimanya akan berfungsi dan berarti secara bersamaan dalam satu interaksi. Melalui konsep mental map ruang kota menurut Lynch 1960 konservasi kawasan dapat dikembangkan kota sebagai “konstruksi collective memory”. Namun tidak demikian halnya dengan kota-kota yang tidak memiliki “struktur fisik” seperti kota-kota yang terdapat di Indonesia, dengan eksistensi kota-kota semacam ini lebih bertumpu pada kekuatan sosial budayanya. Pendekatan sinkronik dan diakronik yang diungkapkan oleh Suprijanto 2001108, umumnya digunakan dalam kaitannya dengan morfologi dalam arsitektur dan kota sebagai metode analisis. Pada morfologi atau perkembangannya, aspek diakronik digunakan untuk mengkaji satu aspek yang Seminar Nasional “Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 7menjadi bagian dari satu objek, fenomena atau ide dari waktu ke waktu. Sedangkan aspek sinkronik digunakan untuk mengkaji keterkaitan antar aspek dalam kurun waktu tertentu. Akan tetapi, pendekatan-pendekatan di atas masih belum menyentuh masalah budaya arsitektur perkotaan, yang dapat digunakan untuk melihat struktur kota yang berkaitan dengan bangunan dan kawasannya. Massa dan ruang yang akan dimaknai, belum cukup untuk dapat mengungkapkan tradisi dan budaya dibalik lingkungan binaan yang melingkupinya. Dengan kondisi budaya yang berbeda, tentunya akan memberikan hasil yang berbeda pula dengan kondisi geografis bangunan dan kawasan lainnya. Karena struktur fisik kota di masing-masing tempat berbeda dengan struktur budaya di tempat lain yang didasarkan pada struktur geografis kulturalnya. Setiap kawasan juga memiliki keunikan tersendiri terbentuk karena adanya kekhasan budaya masyarakat, kondisi iklim yang berbeda, karakteristik tapak, pengaruh nilai-nilai spiritual yang dianut, dan kondisi politik atau keamanan dari suatu kota atau daerah. Pada dasarnya potensi yang dimiliki tersebut harus mampu dimanfaatkan ataupun dikembangkan sebagai daya tarik kawasan tersebut. Pendekatan yang lebih berorientasi pada pandangan etik harus melihat pandangan emik bagaimana kepentingan warga secara luas dan masyarakat kota secara umum. Dari disiplin perancangan kota, kasus ini menunjukkan “konstruksi sosial budaya kota” bukan konstruksi fisik seperti dapat dijumpai pada kota-kota lain di Indonesia Juwono, 200582. Menghadapi kenyataan tersebut tindakan yang harus dilakukan adalah mengkaji ulang konsep dasar perancangan kawasan serta melihat kembali apakah kearifan lokal yang ada masih dapat dipertahankan. Dengan demikian fungsi ruang adalah sebagai tempat transformasi nilai sosial budaya Demikian pula dengan makna kultural, dapat digunakan sebagai sebuah konsep yang mengusulkan kriteria untuk mengestimasi nilai dari suatu tempat. Suatu tempat dikatakan mempunyai makna, bila dapat membantu memahami masa lalu, memperkaya masa kini, dan dapat menjadi nilai untuk generasi yang akan datang. Termasuk di dalamnya adalah, nilai estetis, nilai sejarah, nilai estetika, nilai ilmiah, dan nilai sosial termasuk dalam konsep makna kultural seperti tertuang dalam piagam Burra Burra Charter, 1981. Pendekatan yang dilakukan oleh Catanese 1986, merumuskan kriteria yang digunakan dalam menentukan objek konservasi sebagai berikut estetika, kejamakan, kelangkaan, keluarbiasaan/keistimewaan, peran sejarah, dan memperkuat kawasan. Bahkan objek yang akan dikonservasikan menurut Pontoh 1992, dapat dikategorikan sebagai berikut nilai value dari objek, fungsi objek dalam lingkungan kota, dan fungsi lingkungan dan budaya. Gagasan ini pun dilanjutkan oleh Attoe dalam Catanese & Snyder 1992423-425 yang memberikan pendapat, bahwa perbedaan kualitas dan tingkat pentingnya dalam menentukan objek konservasi didasarkan pada lima pertimbangan sebagai berikut dianggap yang pertama, patut diperhatikan menurut sejarah, perlu dicontoh, tipikal, dan langka. Namun pertimbangan objek tadi belum cukup masih diperlukan parameter, yang oleh Fitch dalam Nurmala 200329 diungkapkan melalui tiga parameter konservasi dalam menentukan lingkup objek konservasi, yaitu skala, tipe dan artefak, dan ukuran dari artefak. Pendekatan ini ada kelemahannya, yaitu penerjemahan maupun penilaian terhadap makna kultural suatu bangunan kuno bersifat subjektif dalam artian tergantung pada masing-masing orang untuk menilai. Diperlukan adanya penelaahan budaya yang lebih mendalam lagi, agar nilai budaya yang terdapat dalam bangunan maupun kawasan bersejarah itu dapat terungkap dengan baik melalui pendekatan makna kulturalnya. 3. KESIMPULAN Kearifan lokal merupakan bagian dari tradisi-budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul menjadi bagian-bagian yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan arsitektur dan kawasan perkotaan, dalam geografi kenusantaraan sebuah bangsa. Secara fisik arsitektural dalam lingkungan binaan, permukiman tradisional dapat diperlihatkan keragaman bentuk kearifan, salah satunya diwujudkan dalam bentuk dan pola tatanan permukimannya. Nilai-nilai adat tradisi-budaya yang dihasilkan mempunyai tingkat kesakralan yang berbeda dari masing-masing daerah di nusantara ini, sesuai dengan keragaman etnis yang menempatkan daerah atau wilayah tersebut. Dalam arsitektur perkotaan, bangunan-bangunan peninggalan kolonial beserta kawasan bersejarahnya dapat memberikan irama sebagai pengikat pola maupun urutan klimaks dan anti klimaks masih dapat ditemukan di beberapa kawasan. Hal ini terjadi, karena perubahan fisik arsitektur dan lingkungan binaan baru tidak memperhatikan harmonisasi kearifan lokal dari Seminar Nasional “Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 8bangunan dan kawasan yang telah ada sebelumnya. Sebenarnya pendekatan lain juga dapat digunakan dalam mengungkapkan nilai kearifan lokal, yaitu melalui pendekatan teori di dalam mengkaji arsitektur bangunan maupun kawasan perkotaannya. Dengan demikian kearifan lokal/setempat dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat. REFERENSI Antariksa, 2004. Pendekatan Sejarah dan Konservasi Perkotaan Sebagai Dasar Penataan Kota. Jurnal PlanNIT. 2 2 98-112. Antariksa, 2005. Permasalahan Konservasi Dalam Arsitektur dan Perkotaan. Jurnal Sains dan Teknologi EMAS. 15 1 64-78. Antariksa, 2007. Pelestarian Bangunan Kuno Sebagai Aset Sejarah Budaya Bangsa. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sejarah dan Pelestarian Arsitektur Pada Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Universitas Brawijaya Malang, 3 Desember 2007. Antariksa, 2008. Memahami Sejarah Kota Sebuah Pengantar. Diakses 12 April 2009 Antariksa, 2009a. Pemahaman Tentang Sosio-Antropologi Perkotaan. Diakses 5 April 2009. Antariksa, 2009b. Peradaban Dalam Sejarah Perkotaan. Diakses 11 April 2009. Budihardjo, E. 1985. Arsitektur dan Pembangunan Kota di Indonesia. Bandung Alumni. Budihardjo, E. 1997. Arsitektur, Pembangunan dan Konservasi. Jakarta Djambatan. Budihardjo, E. 1997. Tata Ruang Perkotaan. Bandung Alumni. Burhan, Antariksa & Meidiana, C. Pola Tata Ruang Permukiman Tradisional Gampong Lubuk Sukon, Kabupaten Aceh Besar. arsitektur e-Journal. 1 3172-189. Diakses 25 April 2009 Dewi, Antariksa, Surjono. 2008. Pelestarian Pola Perumahan Taneyan Lanjhang Pada Permukiman di Desa Lombang Kabupaten Sumenep. arsitektur e-Journal. 1 2 94-109. Diakses 27 April 2009 Eade, J. 1997. Introduction, in John Eade, Ed. Living the Global City, Globalization as Local Process. London Routledge. Hardiyanti, N. S., Antariksa & Hariyani, S., 2005. Studi Perkembangan dan Pelestarian Kawasan Keraton Kasunannan Surakarta. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur. 33 2112-124. Ibrahim, E., Antariksa & Dwi Ari, I. R., 2007. Pelestarian Kawasan Keraton Kasepuhan Cirebon. Jurnal Sains dan Teknologi EMAS. 17 1 48-66. Juwono, S. 2005. Keberadaan Kampung Kota di Kawasan Segitiga Emas Kuningan Konstribusi Pada Rancang Kota. Makalah dalam Seminar Nasional PESAT 2005. Universitas Gunadarma. Jakarta, 23-24 Agustus 2005. Krisna, R., Antariksa & Dwi Ari, I. R., 2005. Studi Pelestarian Kawasan Wisata Budaya di Dusun Sade Kabupaten Lombok Tengah. Jurnal PlanNIT. 3 2124-133. Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta Tiara Wacana Yogya. Lynch, K. 1960. The Image of the City. Cambridge MIT Press. Nurmala. 2003. Panduan Pelestarian Bangunan Tua/Bersejarah di Kawasan Pecinan-Pasar Baru, Bandung. Tesis. Tidak Diterbitkan. Bandung ITB. Permatasari, I., Antariksa & Rukmi, 2008. Permukiman Perdesaan di Desa Trowulan Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto. arsitektur e-Journal. 1 2 77-93. Diakses 3 Mei 2009 Rapoport, A. 1990. History and Precedent in Environmental Design. New York Plenum Press. Rappoport, A. 1969. House Form and Culture. New Jersey Prontise Hill Inc. Englewood Cliffs. Rypkema, 2008. Heritage Conservation and Local Economy. Global Urban Development Magazine. 4 11 Seminar Nasional “Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 9Sartini, 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebagai Kajian Filsafati. Jurnal Filsafat. 37 2 111-120. Diakses 10 April 2009 Sayuti, 2005. Menuju Situasi Sadar Budaya Antara “Yang Lain” dan Kearifan Lokal. Diakses 12 April 2009. Stelter, 1996. Introduction to the Study of Urban History, Part I General Concept and Sources. University of Guelph 49 -464 Reading a Community 1-7. Trancik, R. 1986. Finding Lost Space Theories of Urban Design. New York Van Nostrand. Tulistyantoro, L. 2005. Makna Ruang Pada Tanean Lanjang Di Madura. Dimensi Interior. 3 2 137-152. Zahnd, M. 1999. Perancangan Kota Secara Terpadu. Yogyakarta Kanisius. Tulisan ini telah dipresentasikan pada Seminar Nasional Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan, Jumat 7 Agustus 2009, Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Merdeka Malang. Copyright © 2009 by Antariksa ... Sebagai identitas suatu komunitas, Geertz 1992 menyatakan bahwa kearifan lokal dipraktekkan oleh suatu masyarakat sebagai jati diri, seperti dapat ditemui pada hukum adat, nilai-nilai budaya dan kepercayaan, tata kelola, serta tata cara dan prosedur. Sementara itu, gabungan antara nilai-nilai ke-Semesta-an dengan beragam pandangan hidup tergabung menjadi kearifan lokal yang memotivasi kehidupan masyarakat modern Antariksa, 2009. Kedua pendapat ini menegaskan bahwa dalam tatanan budaya, identitas suatu masyarakat atau tempat tertentu dihadirkan melalui kearifan lokal Agusintadewi, 2016. ...... Kearifan lokal menjadi proses menemukenali potensi dan sifat-sifat alam dalam melanjutkan tradisi. Antariksa 2009 Selain itu, tidak sedikit dongeng, syair, dan cerita rakyat yang dituturkan secara turun-temurun dan berkaitan dengan simbol peristiwa alam yang disampaikan pada cerita tersebut. Cerita rakyat, syair, dongeng, dan penamaan suatu tempat merupakan cara yang dilakukan oleh para orang tua dalam menyampaikan pesan atau peristiwa. ...... Masyarakat modern semakin mengabaikan kearifan lokal dan menganggapnya sebagai sesuatu yang kurang penting dan tidak perlu dirujuk lagi, sehingga hubungan antara alamtradisimanusia menjadi terputus Agusintadewi, 2016. Sejumlah pemikiran berdasarkan tradisi tersingkirkan oleh rasionalitas, walaupun pemikiran tersebut memberikan tuntunan hidup Antariksa, 2009. Metafisika dan fenomenologi semakin tidak dikenal, masyarakat modern pun semakin menjauh dari alam. ... Ni Ketut AgusintadewiLocal wisdom of a community is created by the abilities to read natural phenomena. These abilities are practised and inherited over generations through folklores, poetries, or even fairy tales. These become an integral part of the generations. From the folklores, even local knowledge of natural disasters was formed. Unfortunately, not all local wisdom can be known by the modern community, with the intention of many people died after natural disasters happening. This article describes how local knowledge that relates to disasters in Indonesia became a disaster mitigation that was ignored by the people today. Knowledge of local wisdom can be used as a disaster preparedness education to regional characteristics and adapted to the characters of the latest disaster. Being close to nature also makes local communities have the potentiality to save independently. Finally, the importance of local wisdom as a fundamental aspect in structuring the curriculum of disaster mitigation in Indonesia is as an appropriate effort to provide an education in dealing with disasters. Keywords culture of responsive disaster, local wisdom, curriculum of disaster mitigation ABSTRAK Kearifan lokal suatu masyarakat tercipta oleh kemampuan masyarakat tersebut dalam membaca fenomena alam. Kemampuan membaca alam ini dipraktekkan dan dituturkan secara turun-menurun dalam bentuk cerita rakyat, syair, atau pun legenda, sehingga lahirlah pengetahuan lokal mengenai bencana alam. Namun sayangnya, tidak semua kearifan lokal dapat diketahui oleh masyarakat saat ini, sehingga ketika terjadi bencana, banyak korban berjatuhan. Artikel ini memaparkan tentang bagaimana kearifan lokal terkait dengan bencana alam menjadi suatu tindakan mitigasi bencana yang terlupakan oleh masyarakat saat ini. Pengetahuan tentang kearifan lokal dapat dijadikan muatan pendidikan tanggap bencana yang telah diadaptasikan dengan pola dan ragam bencana terkini pada wilayah tersebut, sehingga masyarakat dapat melakukan penyelamatan secara mandiri. Artikel ini diakhiri dengan pemaparan tentang pentingnya kearifan lokal sebagai basis dalam kurikulum pendidikan kebencanaan di Indonesia sebagai upaya yang tepat untuk mengedukasi masyarakat dalam menghadapi sekaligus menangani bencana. Kata Kunci budaya tanggap bencana, kearifan lokal, kurikulum pendidikan kebencanaan PENDAHULUAN Secara geologis, geomorfologis dan geografis, Indonesia merupakan negara yang rawan dengan bencana, terutama bencana geologis gempa bumi, gunung meletus dan hidrometeorologi kekeringan, kebakaran, longsor, abrasi, erosi, angin topan, banjir, dan lain-lain. Potensi bencana setiap daerah di Indonesia memiliki karakteristik yang beragam, sehingga penanganannya pun haruslah berbeda pula, baik secara nasional maupun lingkungan sekitar. Pemahaman tentang dinamika hubungan alam dan manusia di suatu wilayah sangat mempengaruhi pandangan masyarakat tersebut dalam memperlakukan alam. Untuk mengurangi risiko bencana, maka partisipasi masyarakat perlu ditingkatkan melalui menumbuhkan kesadaran akan kapasitas dirinya dalam mitigasi bencana. Pengalaman empirik manusia melalui interaksi dengan lingkungannya akan menghasilkan pengetahuan lokal tentang hubungan alam-tradisi-manusia. Namun saat ini, beragam pengetahuan lokal yang dimiliki oleh berbagai masyarakat tradisional di Indonesia perlahan-lahan mulai punah karena tidak didokumentasikan secara baik sebagai sumber ilmu pengetahuan. Prakteknya, pengetahuan dan kearifan lokal dapat disinergikan secara empirik dan rasionalistik, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mitigasi bencana alam dengan memberdayakan partisipasi masyarakat lokal.... Secara etimologi, kearifan lokal berasal dari dua kata yaitu lokal local yang berarti setempat yang menunjukkan tempat atau ruang interaksi dimana peristiwa atau situasi terjadi, sedangkan kearifan wisdom atau kebijaksanaan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang menggunakan akal pikirannya dalam menyikapi sesuatu peristiwa, objek atau situasi. Secara umum makna local wisdom kearifan setempat dapat dipahami sebagai gagasan setempat local yang memiliki makna atau nilai tertentu, bisa juga berupa pandangan yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat Antariksa, 2009. ...... Cultural expression is anything related to traditional and historical elements in the physical and non-physical forms that develop and is embedded in people's lives represented through symbols, signs, and activities. Moreover, this definition estimates the value of a place to help understand the past and enrich the present while still being valuable for future generations Antariksa, 2009. ...Natural and cultural aspects significantly affect architectural form development. High-rise building contributes to produce a high expression in the public space vision since it is gigantic. As an architectural aspect, a high-rise building has 2 main aspects, including Cultural Expression Culex and Climatic Expression Climex on its envelopes. This study aimed to design an interpretation method for Culex and Climex performance acceptance in high-rise building envelopes in Phinisi Tower, Makassar, Indonesia. Three theories, including gestalt perception, triadic semiotics, and tropical design or Critical Tropicalism were applied. Moreover, categorization, interpretation, and TRNSYS software simulation were used to process and analyze data from respondents and observations. This study led to the formation of an expression interpretation called Identification, Contextualization, and Implementation, abbreviated as "ICI." Culex was categorized into 2, including historical and traditional contexts. Climex also were categorized into 2, including historical and traditional contexts, and envelope configuration and geometry inter floors changes. There were 5 steps for interpreting the high-rise building envelope expression, including 1 Observational perspectives determination, 2 Organizing Gestalt principal basic expressions, 3 Culex and Climex contextualization, 4 Classification of the expression-creating element categories, and 5 Performance acceptance, inclusive or exclusive categorization. Generally, this method can contribute to designing high-rise buildings related to cultural and climatic elements. Key words Method, Interpretation, Expression, Envelope, Climatic, Cultural, Building, High-rise... Mitos Aceh. Banda Aceh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, hlm Antariksa. 2009. Kearifan Lokal dalam Arsitektur Perkotaan dan Lingkungan Binaan. Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan. Malang PPI Rektorat Dahliani, Soemarno, I., & Setijanti, P. 2015. Local Wisdom In Built Environment In Globalization Era. International Journal ofEducation and Research, II ... Mukhammad FatkhullahDalam pariwisata, eksotisme budaya merupakan daya tarik bagi wisatawan. Akan tetapi, tidak semua budaya menghasilkan dampak yang sama. Beberapa justru menjadi penghambat upaya mengembangan masyarakat, terlebih pada upaya eksplorasi sumberdaya alam potensial untuk menunjang tujuan pembangunan. Penelitian ini bermaksud untuk melihat bagaimana budaya masyarakat lokal memberikan kontribusi pada sektor pariwisata, dengan menggunakan metode eksploratis berdasarkan studi literatur. Hasilnya, budaya masyarakat lokal mampu mendukung sektor pariwisata dengan syarat terdapat unsur kearifan didalamnya. Adapun unsur tersebut dapat bersumber dari Agama, bahkan takhayul sekalipun. Akan tetapi, hal tersebut hanya berlaku pada komunitas yang homogen. Takhayul yang ada pada masyarakat yang heterogen hanya akan menimbulkan keacuhan masyarakat, hingga penelantaran lingkungan. Adapun upaya untuk menghapus takhayul dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas pendidikan dan aspek keagamaan. Lebih lanjut, studi ini menemukan bahwa pengembangan wisata berbasis budaya tetap dapat diupayakan dengan mempertimbangkan 1 regulasi yang beroritentasi pada pengembangan masyarakat dan berwawasan lingkungan, 2 pengembangan yang berfokus pada keunikan dan identitas lokal, serta 3 strategi pemasaran yang menekankan pada pengalaman spiritual.... Local wisdom in architecture can be seen from time and place that the local wisdom in terms of architecture comes from the past within the local people that carry out the value of local wisdom in persistent and continuous until now. Because the context of local wisdom applies to the local environment, based on local community thinking and who influence it, so that in each local wisdom to the other will be different and local in characteristic [6] and [2] So it needs a study of the wisdom of architectural locality regarding the wisdom values that can be applied in accordance with today conditions. Thus, architectural civilization is not trapped in the past, as science and architecture continue to evolve, automatically there will be changes in the development. ...... Secara etimologi, kearifan lokal berasal dari dua kata yakni; lokal local yang berarti setempat yang menunjukkan ruang interaksi tempat peristiwa atau situasi tersebut terjadi, sedangkan kearifan wisdom sama dengan kebijaksanaan atau dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, objek atau situasi. Secara umum makna local wisdom kearifan setempat dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat local, nilai-nilai, pandangan-pandangan yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat Antariksa, 2009. ... Budhi LilyTimor Raya Restaurant comes from the proliferation of places that offer rental services of wedding packages in the city. The initial function of this restaurant was a venue for weddings with supported interior concept. As the time goes by, the restaurant also rented out for other events such as birthdays, graduations, meetings and gathering severance and other events that makes the interior concept incompatible anymore with such events. Flexibility of the interior space is the main problem of this restaurant and to study about it can use the "liquid" philosophy at the meaning of sirih pinang as a local wisdom potential. The purpose of this study is to present an interior design of Timor Raya Restaurant with "liquid" concept that can provide solutions to respond to some of the functions contained. Data collection method is done by observation and interviews and analyze with qualitative method to each element of the interior with the "liquid" concept. The results showed that by the application of "liquid" concept against every element make the interior concept of Timor Raya Restaurant can adjust to every event Liquid, interior, Timor Raya RestaurantAbstrack Restoran Timor Raya hadir dari maraknya tempat-tempat yang menawarkan jasa penyewaan paket pernikahan di Kota Kupang. Fungsi awal restoran ini adalah sebagai tempat berlangsungnya acara pernikahan dengan konsep iterior yang mendukung. Berjalannya waktu restoran ini disewakan juga untuk acara-acara lain seperti ulang tahun, wisuda, pertemuan dan temu pisah serta acara lainya yang mengakibatkan konsep interior yang ada tidak cocok dengan acara-acara tersebut. Masalah fleksibilitas ruang interior merupakan masalah utama dari restoran ini dan untuk mengkajinya dapat menggunakan filosofi “cair” pada makna sirih pinang sebagai potensi kearifan lokal. Tujuan penelitian ini adalah untuk menghadirkan sebuah desain interior Restoran Timor Raya dengan konsep “cair” yang dapat memberikan solusi untuk merespon beberapa fungsi yang diwadahi. Metode pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara serta menganalisisnya dengan metode kualitatif terhadap setiap elemen interior dengan konsep “cair”. Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan aplikasi konsep ”cair” terhadap setiap elemen membuat konsep interior Restoran Timor Raya dapat menyesuaikan dengan setiap acara yang kunci Cair, interior, restoran timor rayaDewi MerdayantyKelurahan Sungai Jingah berbatasan dengan Sungai Martapura, dimana kondisi sungai ini hampir menetap sepanjang tahun dan mengalami musim pasang – surut yang tidak begitu lama sangat bermafaat bagi transportasi air dan lokasi jual beli di atas perahu, namun manfaat air sungai mulai berkurang dengan dibuatnya sarana dan prasarana darat seperti pembangunan jalan dan jembatan, masuknya air PDAM menggantikan manfaat air sungai untuk keperluan sehari-hari membuat lokasi sungai sepi aktivitas masyarakat, mengakibatkan pelaku usaha perahu/kapal sungai baik sebagai alat transprotasi dan alat angkut bagi jual-beli gulung tikar. Suasana seperti ini diperlukan dorongan Pemerintah agar masyarakat selalu kreatif dan inovatif melalui upaya pengembangan keunggulan setempat, seperti pengembangan pariwisata kampung tua rumah banjar, museum wasaka, kampung sasirangan, mawarung baimbai, agrowisata kebun rambutan dan kebun jeruk, kebun sehat, taman satwa, pengrajin akar pasak bumi dan budidaya madu sisi kekuatan untuk tatakelola potensi wisata Kelurahan Sungai Jingah cukupbanyak mempunyai lahan untuk pariwisata untuk dapat dikembangkan, kelemahan yang dimiliki sekarang seperti kurangnya sarana dan prasarana dalam mendukung dan mengembangkan pariwisata. Adapun peluang untuk pengembangan dan tatakelola wisata tersebut sangat tinggi karena pemasaran dan dukungan masyarakat yang cukup tinggi, sedangkan tantangan dalam mengelola potensi wisata adalah persaingan harga pasar dan kualitas bahan seperti halnya dalam pembuatan kain sasirangan dan pada kuliner harus mampu mempertahankan harga dan rasa agar dapat memberikan kepuasan kepada konsumen dan tidak membuat mereka merasa kecewa. Dari wisata kampung tua menuju wisata mesium wasaka dan wisata kuliner mawarung baimbai serta witasa kampung sasirangan dan agrowisata kebun rambutan dan kebun jeruk dapat dilakukan melalui susur sungai namun perlu adanya dukungan Pemerintah terutama dalam hal pengerukan sungai yang akan dilewati untuk kenyamanan dan kelancaran wisata susur sungai bagi Nurina Kartika IskandarCama Juli RianingrumAhadiat Joedawinatap>Abstract Baitul Muttaqien Mosque is one of the mosques in Indonesia, precisely in Samarinda, East Kalimantan with a variety of facilities and infrastructure in its interior, so it is dubbed the Islamic Center Mosque. The application of architectural and interior elements applied reflects two different cultures namely Middle Eastern culture and local culture, East Kalimantan. This is not just to beautify the mosque building, but there is a philosophical content contained in the two different cultural elements. Keywords culture, architecture and interior of the mosque, Islamic architecture, Baitul Muttaqien mosque Samarinda. Abstrak Masjid Baitul Muttaqien merupakan salah satu Masjid di Indonesia tepatnya di Samarinda, Kalimantan Timur dengan berbagai sarana dan prasarana yang ada didalamnya sehingga dijuluki Masjid Islamic Center. Penerapan elemen arsitektur dan interior yang diaplikasikan mencerminkan dua kebudayaan yang berbeda yaitu budaya Timur Tengah dan budaya lokal yakni Kalimantan Timur. Hal ini bukan sekedar untuk memperindah bangunan masjid itu saja, akan tetapi ada muatan filosofis yang dikandung dari kedua unsur budaya yang berbeda tersebut. Kata kunci Kebudayaan, Arsitektur dan interior masjid, arsitektur Islam, masjid Baitul Muttaqien Samarinda.
dariitu Kearifan lokal penting untuk dilestarikan dengan tujuan menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan. Berkembangnya kearifan lokal tidak terlepas dari pengaruh perilaku manusia terhadap lingkungannya. DAFTAR PUSTAKA Ariyanto, dkk. 2014. Kearifan Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Hutan Di Desa

Rekomendasi jawaban terbaik dari pertanyaan Anda yang diulas oleh di bawah iniJawabanHubungan antara kearifan lokal dengan kondisi geografis lingkungan yaitu kearifan lokal terbentuk karena keunggulan keadaaan geografis suatu wilayah sehingga dapat tercipta kearifan lokal pada daerah Hallo teman- teman BrainlyLovers!!! pada waktu luang kali ini kita bersama- sama akan mencoba menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan pelajaran sekolah menengah atas mata pelajaran sosiologi. Semangat belajar yaa teman- teman semoga sukses!!!kearifan lokal merupakan sebuah produk kebudayaan sejak masa lalu yang pantas secara berkesinambungan dijadikan pegangan hidup. Walaupun bernilai lokal namun nilai yang terdapat pada kearifan lokal sudah dianggap sangan universal. Kearifan lokal ialah perilaku positif masyarakat dalam berhubungan dengan lingkungan dan alam sekitarnya yang dapat bersumber dari adat istiadat, nilai- nilai agama, petuah nenek moyang ataupun budaya setempat yang sudah terbentuk secara alamiah pada suatu komunitas masyarakat untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Hubungan antara kearifan lokal dengan kondisi geografis lingkungan yaitu kearifan lokal terbentuk karena keunggulan keadaaan geografis suatu wilayah sehingga dapat tercipta kearifan lokal pada daerah lebih lanjut Adik-adik semua masih kepingin belajar materi sosiologi kan? Yuk adik-adik cek link di bawah ini yaa!!! Semoga dapat membantu adik-adik dalam belajar dan semoga membantu pengendalian sosial pada saat terdapat demostrasi dengan cara pada link berikut kebudayaan yang berpengaruh terhadap kebudayaan pada link berikut dari koersi, mediasi, kompromi pada link berikut jawaban Kelas 11Mapel sosiologiBab kebudayaan dan multikulturalismeKode kunci kearifan lokal, kondisi geografis, kebudayaanIowaJournalist Indonesia PastiBisa PintarBelajar DuniaBelajar Pendidikan Sekolah AyoBelajar TanyaJawab AyoMembaca AyoPintar KitaBisa DuniaPendidikan IndonesiaMajuSekian informasi yang dapat rangkumkan perihal tanya-jawab yang telah kalian ajukan dan cari. Jika kalian membutuhkan Info lainnya, silahkan pilih kategori rangkuman di atas bisa bermanfaat untuk teman-teman semua dalam mencari jawaban.

Budayatersebut antara lain: bahasa lokal, pranata lokal, kearifan lokal, dan seni pertunjukan. Budaya yang terkait dengan kearifan lokal meliputi. a. konsep lokal, Sebaran dan pengaruh sebagaimana di kemukakan di atas sangat ditunjang oleh letak strategis Lembah Grime. Dengan adanya kepatuhan masyarakat terhadap pimpinan diharapkan Kualitas lingkungan hidup saat ini sebagian besar mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang tangguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan. Berbagai asas dipergunakan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Salah satu asas tersebut adalah budaya dan kearifan lokal. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan manusia bermasyarakat untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. Geografi manusia human geography menekankan studi pada aspek antroposphere. Studi geografi tidak terlepas dari kenyataan kehidupan manusia di permukaan bumi sebagai hasil interaksi antara manusia dengan gejala-gejala geografi di permukaan bumi. Geografi manusia sangat berperan dalam melestarikan lingkungan hidup melalui aktifitas manusia dalam kebudayaannya. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free e-mail geomedia Geomedia Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian Geomedia Vol. 17 No. 1 Tahun 2019 1 – 9 Kajian kearifan lokal dalam perspektif geografi manusia Rasti Fajar Peni Riantika a, 1*, Hastuti b, 2 a Program Studi Pendidikan Geografi Program Magister, Universitas Negeri Yogyakarta b Jurusan Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta 1 *; 2hastuti *korespondensi penulis SejarahartikelDiterima Revisi Dipublikasikan Kualitas lingkungan hidup saat ini sebagian besar mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang tangguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan. Berbagai asas dipergunakan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Salah satu asas tersebut adalah budaya dan kearifan lokal. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan manusia bermasyarakat untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. Geografi manusia human geography menekankan studi pada aspek antroposphere. Studi geografi tidak terlepas dari kenyataan kehidupan manusia di permukaan bumi sebagai hasil interaksi antara manusia dengan gejala-gejala geografi di permukaan bumi. Geografi manusia sangat berperan dalam melestarikan lingkungan hidup melalui aktifitas manusia dalam kebudayaannya. Kata kunci Lingkungan Budaya Kearifan Lokal Geografi Manusia Keywords Environment Culture Local Wisdom Human Geography Today's environmental quality is largely threatening the survival of humans and other living creatures, so that protection and management of the environment is strong and consistent by all stakeholders. Various principles are used in environmental protection and management. One of these principles is culture and local wisdom. Local wisdom is the noble values that apply in the human life system to protect and manage the environment sustainably. Environmental protection and management activities must pay attention to the noble values that apply in the order of life of the community. Human geography emphasizes the study of aspects of the anthroposphere. Geography studies can not be separated from the reality of human life on the surface of the earth as a result of interaction between humans and the symptoms of geography on the surface of the earth. Human geography plays an important role in preserving the environment through human activities in its culture. © 2019 Rasti Fajar Peni R dan Hastuti. All Right Reserved Pendahuluan Manusia merupakan pelaku utama dalam keterkaitannya dengan lingkungannya. Karenanya, human geography sebagai suatu cabang ilmu yang berfokus pada keberadaan manusia di muka bumi, dianggap perlu menyumbangkan peranannya dalam penyelesaian pelestarian lingkungan. Artikel ini Kajian kearifan lokal dalam perspektif geografi manusia 2 Geomedia Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian akan membahas secara lebih lanjut mengenai keterkaitan manusia dan pelestarian lingkungan, bagaimana kedudukan human geography dalam menyelesaikan permasalan pelestarian lingkungan. Manusia merupakan faktor utama penyebab banyaknya kerusakan lingkungan. Tidak disadari, kegiatan hidup manusia sehari-hari akan merusak lingkungan yang disebabkan oleh tekanan ekonomi dan rendahnya tingkat pendidikan Maridi, 2012. Interaksi antara manusia dan lingkungannya tidak selalu berdampak positif bagi lingkungan. Interaksi tersebut menurut Suparmini, dkk. 2013 dapat menimbulkan dampak negatif yang dapat menimbulkan bencana, malapetaka, dan kerugian-kerugian lainnya. Pada kondisi yang demikian inilah kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat dapat meminimalisir dampak negatif yang ada. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan adalah upaya untuk mewujudkan dan meningkatkan peri kehidupan dan kualitas hidup makhluk hidup secara alami dan berkelanjutan. Pengelolaan lingkungan hidup bagi individu atau sekelompok masyarakat secara nasional berpegang pada peraturan yang telah disepakati bersama. Peraturan tersebut dikemas dengan berbagai cara, melalui undangundang yang harus difahami dan ditaati bersama. Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tentang lingkungan dan pembangunan, diantaranya 1 Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan tahun 1982; 2 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan; serta 3 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pelaksanaan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah di lapangan didukung oleh kebiasaan-kebiasaan positif yang bernuansa melindungi dan melestarikan lingkungan hidup. Kebiasaan-kebiasaan positif itu dapat dilakukan secara individual atau kelompok masyarakat di daerah tertentu yang bersifat lokal. Kebiasaan-kebiasaan tersebut selanjutnya dikenal sebagai kearifan lokal. Kearifan lokal menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2009 bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum dimana seluruh kegiatan yang berhubungan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan beberapa hal diantaranya 1 keragaman karakter dan fungsi ekologis; 2 sebaran penduduk; 3 sebaran potensi sumber daya alam; 4 kearifan lokal; 5 aspirasi masyarakat; dan 6 perubahan iklim. Kearifan lokal merupakan pengalaman, gagasan, perilaku dan kebiasaan yang dilakukan oleh manusia yang mempunyai nilai untuk tujuan tertentu Mukti, 2010. Geografi Manusia Human Geography Geografi manusia adalah cabang geografi yang bidang studinya yaitu aspek keruangan gejala di permukaan bumi, yang mengambil manusia sebagai objek pokok. Gejala manusia sebagai objek studi pokok, termasuk aspek kependudukan, aspek aktivitas yang meliputi aktivitas ekonomi, aktivitas politik, aktivitas sosial, dan aktivitas budayanya. Geografi manusia terbagi lagi ke dalam cabang-cabang Geografi Budaya, Geografi Penduduk, Geografi ekonomi, Geografi Industri, Geografi Medis, Geografi Perkotaan, Geografi Pariwisata, Geografi Sejarah, geografi transportasi, Geografi politik, Geografi permukiman dan Geografi Sosial D’Blij dan Murphy, 1998. Geografi manusia mengkaji mengenai interaksi antara manusia dengan tempat dan interakasi keruangan. Fellmann, Getis, dan Getis 2008, menyebut aspek ini sebagai aspek interaksi keruangan. Sosiologi mengkaji mengenai interaksi sosial, sementara geografi manusia mengkaji mengenai interaksi keruangan. Rasti Fajar Peni Riantika dan Hastuti Geomedia Vol 17 No 1 Tahun 2019 Geomedia Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian 3 Di dalam kajian ini, geografi manusia berusaha unuk mengkaji mengenai interaksi manusia dengan lingkungannya, dan interaksi ruang satu dengan ruang yang lainnya. Merujuk pada pandangan Fouberg, Murphy dan de Blij 20098, geografi manusia berusaha untuk mengkaji mengenai kepekaan dan rasa memiliki manusia terhadap lokasi, region dan dunianya. Aspek ini, biasa disebut dengan sense of place. Keragaman rasa memiliki tempat sense of place, bukan sekedar terhadap rumah, desa, negara, tetapi juga terhadap planet bumi ini. Target pelestarian bumi, dan penyelamatan lingkungan, pada dasarnya bersandar pada besarannya sense of place. Kerusakan lingkungan, adalah contoh nyata rendahnya sense of place dari manusia Kearifan Lokal dan Budaya Istilah kearifan lokal pertama kali dikenalkan oleh HG. Quaritch Wales “the sum of the cultural characteristic which the vast majority of a people have in common as a result of their experiences in early life”. Gagasan pokok dalam definisi di atas adalah 1 karakter budaya, 2 kelompok yang memiliki budaya tersebut, 3 pengalaman hidup yang muncul dari karakter budaya Banda 2014 1. Menurut Budiwiyanto 2005 26 kearifan lokal sebagai “local genius” yang berarti sejumlah ciri kebudayaan yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat sebagai suatu akibat pengalamannya di masa lalu. Setyawati dkk 2015 101 dalam penelitiannya menggunakan istilah kecerdasan tradisional local genius sebagai alternatif istilah dari kearifan lokal local wisdom. Kedua istilah ini memiliki kesetaraan makna dengan istilah pengetahuan lokal local knowledge dan pengetahuan asli daerah indigeneous knowledge. Kearifan lokal terbentuk dari interaksi secara terus menerus antara manusia dengan lingkungannya dalam waktu yang lama. Elsworth huntington dalam bukunya yang berjudul Principle of human geography mengemukakan bahwa respon manusia terhadap lingkungan itu, dapat dikelompokkan pada empat kelompok besar, yaitu terkait dengan kebutuhan material material needs, pekerjaan, efisiensi kehidupan, dan kebutuhan tingkat tingkat tinggi higher needs. Yang pertama, lingkungan memberikan pengaruh terhadap ragam makanan, pakaian, alat dan teknologi, sarana transportasi dan perumahan. Seseorang yang ada di kawasan pantai, memiliki kebutuhan material yang berbeda dengan mereka yang tinggal di daerah gurun atau pegunungan iklim sangat menentukan kebudayaan manusia. Kedua, lingkungan mempengaruhi ragam pekerjaan manusia. Dari aspek ini, muncul keragamaan pekerjaan, seperti berburu, bertani, pertambangan, dan pengolahan barang dan adanya keragaman mengenai kegiatan yang mendukung pada usaha peningkatan kualitas hidup manusia, seperti layanan kesehatan, pemanfaatan energy dan keragaman pola rekreasi. Terakhir, yaitu adanya keragaman kebutuhan tingkat tinggi manusia higher needs. Aspek respon manusia yang dianggap masuk pada kategori ini, yaitu pelayanan pemerintahan, pendidikan, sains, keagamaan dan seni. Menurut Koentjaraningrat 2003 kebudayaan daerah sama dengan konsep suku bangsa. Suatu kebudayaan tidak terlepas dari pola kegiatan masyarakat. Keragaman budaya daerah bergantung pada faktor geografis. Semakin besar wilayahnya, maka makin komplek perbedaan kebudayaan satu dengan yang lain. Kearifan Lokal Secara Geografis Human geografi mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan permasalan pelestarian lingkungan. Upaya menjaga keseimbangan dengan lingkungannya masyarakat memiliki norma-norma, nilai-nilai atau aturan-aturan yang telah berlaku turun temurun yang merupakan kearifan lokal sesuai dengan letak geografis daerah setempat. Beberapa contoh praktek-praktek budaya dan kearifan lokal di Indonesia yang menurut Suhartini 2009 antara lain sebagai berikut a. Pranoto mongso Kajian kearifan lokal dalam perspektif geografi manusia 4 Geomedia Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian Salah satu kearifan lokal yang terdapat di Jawa yaitu Pranoto Mongso. Pranoto Mongso atau aturan waktu musim digunakan oleh para petani pedesaan yang didasarkan pada naluri dari leluhur dan digunakan sebagai patokan untuk mengolah pertanian. Menurut Hariyanto, 2013 Pranoto mongso adalah salah satu cara yang digunakan suku jawa untuk mengetahui hukum atau tanda-tanda dari fenomena geografis dan berguna untuk menentukan masa tanam, masa panen, Pengendalian Hama Terpadu PHT, pencegahan biaya proses pertanian yang tinggi, dan pengurangan resiko gagal panen. Melalui perhitungan pranoto mongso maka alam dapat terjaga keseimbangannya. Pranoto Mongso dipelopori oleh raja Surakarta Pakubuwono VII dan mulai dikembangkan sejak 22 Juni 1856. Indikator tiap mongso pada Pranotomongso menurut Sumintarsih 1993 42-43 terdapat pada Tabel. 1. Tabel 1. Tabel Pananggalan Jawa Pranotomongso Setya murca ing embanan/ udan rasa mulyo Daun-daun gugur. Udara malam hari dingin, dan siang hari panas Bantala rengka / gong pecah sajroning simpenan Udara panas, angin lembut di luar dingin, panas di dalam. Pohon berdaun lagi. 25 Agustus – 17 September Angin berdebu, udara panas, panen palawija, gadung tumbuh, pohon-pohon berbunga. 18 September – 12 Oktober Waspa Kumembeng Jroning Kalbu Kemarau berakhir, pohon randu berbuah, binatang kaki empat kawin, pohon jambu dan jeruk berbunga. Pancuran Emas Sumawur Ing Jagat Hujan pertama turun. Gadung dan kunir berdaun banyak. Pohon nangka, during, dan mangga berbunga. Mengerjakan sawah, rambutan dan jeruk berbunga, alam mulai hujan. Kilat bersambungan, hujan jarang, banyak binatang tonggeret, padi mulai berbuah. 3 Februari – 28/29 Februari Kilat bersambungan, hujan jarang, banyak binatang tonggeret, padi mulai berbuah. Garengpung berbunyi, berbuat alpukat, jeruk. Pepaya berbunga. Burung-burung bertelur, padi tua. Menuai padi, burung mengeram, tanaman berubi berbuah. Mulai kemarau, Jeruk berbuah Sumber Sumintarsih 1993 42-43 Rasti Fajar Peni Riantika dan Hastuti Geomedia Vol 17 No 1 Tahun 2019 Geomedia Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian 5 Pranata Mangsa yang dalam setahun terdiri dari 12 mangsa kemudian dibagi lagi menjadi 4 mangsa utama mangsa terang 82 hari, mangsa semplah 99 hari, mangsa udan 86 hari dan mangsa pengarep-arep 98 hari. Simetris dengan pembagian 4 mangsa ini, ada juga pembagian mangsa utama yang lain, yaitu mangsa Katigo88 hari, mangsa Labuh 95 hari, mangsa rendheng 94 hari dan mangsa mareng 88 hari. Sindhunata, 20113. Tanda-tanda untuk mengetahui awal dan berakhirnya tiap mangsa melalui panjang bayangan manusia di siang hari yang merupakan akibat dari posisi Matahari yang setiap harinya selalu berpindah- pindah. Seperti yang tertera pada Tabel 2 menurut Daldjoeni di bawah ini. Tabel 2. Tabel Pembagian Mangsa dalam Pranata Mangsa dan Panjang Bayangan Tiap Mangsa Panjang Bayangan dalam pecak dan arah Sumber. Daldjoeni 1983 b. Nyabuk Gunung Nyabuk Gunung merupakan cara bercocok tanam dengan membuat teras sawah yang dibentuk menurut garis kontur. Cara ini banyak dilakukan di lereng bukit sumbing dan sindoro. Cara ini merupakan suatu bentuk konservasi lahan dalam bercocok tanam karena menurut garis kontur. Hal ini berbeda dengan yang banyak dilakukan di Dieng yang bercocok tanam dengan membuat teras yang memotong kontur sehingga mempermudah terjadinya longsor. c. Pohon keramat Pada hampir semua daerah di Jawa, dan beberapa wilayah lain di Indonesia, terdapat budaya menganggap suatu tempat dengan pohon besar misal beringin adalah tempat yang keramat. Kearifan lokal ini memberikan dampak positif bagi lingkungan dimana jika suatu tempat dianggap keramat misal terdapat pohon beringin, maka hal ini merupakan salah satu bentuk konservasi karena dengan memelihara pohon tersebut menjaga sumber air, dimana beringin memiliki akar yang sangat banyak dan biasanya di dekat pohon tersebut ada sumber satu contoh nyata kearifan lokal ini nampak pada masyarakat di Desa Beji, Ngawen, Gunungkidul. Hasil penelitian Alanindra 2012 menunjukkan bahwa masyarakat di desa Beji, memiliki hutan adat Wonosadi dimana di dalamnya terdapat mataair Wonosadi. Berbagai potensi baik flora, fauna, maupun sumberdaya air di mata air ini sangat terjaga dengan baik sebagai tempat resapan air hujan. Hal ini menyebabkan di hutan Wonosadi terdapat Kajian kearifan lokal dalam perspektif geografi manusia 6 Geomedia Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian tiga mata air yang mengalir sepanjang tahun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di sekitar desa Beji. Terjanyanya kelestarian hutan adat ini tidak lepas dari kearifan lokal yang sampai saat ini dipertahankan oleh masyarakat yang salah satunya diwujudkan dalam pembentukan kelompok “Jagawana”. Jagawana merupakan kelompok masyarakat yang bertugas untuk menjaga dan memelihara vegetasi di daerah tangkapan air mata air Wonosadi. Masyarakat tidak pernah mengambil kayu dan merusak aneka tumbuhan langka. Pohon-pohon yang mati tersambar petir tidak ditebang melainkan dibiarkan menjadi humus. d. Kearifan lokal komunitas adat Karampuang di Sulawesi Komunitas adat Karampuang memiliki beberapa cara tersendiri yang merupakan bagian dari sistem budaya dalam mengelola hutan dan sumberdaya alam. Hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan alam sehingga untuk menjaga keseimbangan ekosistem di dalamnya terdapat aturan dan norma yang harus dipatuhi oleh semua warga masyarakat. Dewan adat Karampuang sebagai simbol penguasa tradisional, sepakat untuk mengelola hutan adat yang ada dengan menggunakan pengetahuan yang bersumber dari kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Karampuang. Kearifan lokal tersebut diwujudkan dalam bentuk larangan dan sanksi. Salah satu contoh kearifan lokal dalam bentuk larangan yaitu “Aja’ muwababa huna nareko depa na’oto adake, aja’ to muwababa huna nareko matarata’ni manuke” yang artinya “jangan menyadap enau di pagi hari dan jangan menyadap enau di petang hari”. Hal ini berhubungan dengan keseimbangan ekosistem, khususnya hewan dan burung karena menyadap enau pada pagi hari dikhawatirkan akan mengganggu ketenteraman beberapa jenis satwa yang ada pada pohon enau, demikian pula pada sore hari akan mengganggu satwa yang akan kembali ke kandangnya. Beberapa jenis kearifan lokal masyarakat di Indonesia dalam mengelola hutan dan lingkungan dikemukakan oleh Sartini 2004 antara lain a. Papua, terdapat kepercayaan te aro neweak lako alam adalah aku. Gunung Erstberg & Grasberg dipercaya sebagai kepala mama, tanah dianggap sebagai bagian dari hidup manusia. Dengan demikian maka pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara hati-hati. b. Serawai, Bengkulu, terdapat keyakinan celako kamali. Kelestarian lingkungan terwujud dari kuatnya keyakinan ini yaitu tata nilai tabu dalam berladang dan tradisi tanam tanjak. c. Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, terdapat tradisi tana’ ulen. Kawasan hutan dikuasai dan menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur dan dilindungi oleh aturan adat. d. Masyarakat Undau Mau, Kalimantan Barat mengembangkan kearifan lokal dalam pola penataan ruang pemukiman, dengan mengklasifikasi hutan dan memanfaatnya. Perladangan dilakukan dengan rotasi dengan menetapkan masa bera, dan mengenal tabu sehingga penggunaan teknologi dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan ramah lingkungan. e. Masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, Kampung Dukuh Jawa Barat yang mengenal upacara tradisional, mitos, tabu sehingga pemanfaatan hutan dilakukan dengan hati-hati. Tidak diperbolehkan eksploitasi kecuali atas ijin sesepuh adat. f. Bali dan Lombok, masyarakat mempunyai awigawigKearifan lokal yang lain dapat ditemukan pada berbagai ritual adat di Bali yang mayoritas penduduknya menganut agama Hindu. Beberapa Rasti Fajar Peni Riantika dan Hastuti Geomedia Vol 17 No 1 Tahun 2019 Geomedia Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian 7 praktek kearifan lokal di Bali menurut Utama dan Kohdrata 2011 antara lain a. Adanya organisasi adat yang mengelola lanskap alam seperti organisasi subak dalam mengelola sistem irigasi pertanian; b. budaya menandai pohon besar dengan lilitan kain belang hitam-putih yang menandai bahwa pohon tersebut tidak dapat ditebang sembarangan; c. ritual tumpek wariga/tumpek uduh yang digunakan sebagai sarana untuk mewujudkan rasa syukur atas pemanfaatan keanekaragaman hayati yang telah diperoleh; dan lain-lain. Kearifan lokal juga dijumpai dalam upaya mitigasi bencana. Setyawati dkk 2015 103-106 serta Septiana dkk 2019 7-12 mencontohkan kearifan lokal masyarakat di wilayah lereng selatan hingga barat Gunungapi Merapi dalam menghadapi bencana. Masyarakat di wilayah tersebut memiliki kemampuan dalam membaca tanda semiotika yang berupa tanda-tanda dari perilaku hewan semiotika faunal, kondisi vegetasi semiotika vegetal, kondisi alam seperti suara gemuruh dan kilat di atas gunung merapi semiotika fisikal, serta ajaran, nasihat, bahkan mitos semiotika kultural. Kearifan lokal ini diajarkan secara turun temurun, namun demikian pada saat sekarang tidak dipahami seluruh anggota masyarakat terutama generasi muda. Pada masyarakat Jawa pra modern, kearifan lokal telah berkembang dalam pemilihan lokasi permukiman. Berdasarkan kearifan lokal ini, permukiman cenderung dipilih pada lokasi yang dekat dengan sumberdaya air, memiliki kualitas sumberdaya lahan yang baik, serta relief yang baik Ashari, 2014 176, Ashari, 2015 367 Kontribusi geografi manusia terhadap kearifan lokal Geografi merupakan ilmu yang lebih terfokus pada interaksi antara manusia dan lingkungan di mana ia hidup Hobbs, 2009. Dari definisi yang telah dikemukakan, maka dapat diketahui bahwa geografi lebih menekankan pada interaksi antara manusia dan lingkungannya. Manusia hidup di permukaan bumi di mana tiap area atau wilayah yang ada di permukaan bumi ini tentu memiliki karakteristik yang membedakan antara satu tempat dengan tempat yang lainnya. Human Geografi adalah sub ilmu dari Geografi yang Masyarakat berperan dalam melestarikan kondisi lingkungan. Peran manusia secara berkelompok masyarakat sesuai dengan lingkup secara geografisnya merupakan kegiatan yang telah mengakar dan menjadi kebiasaan sehari-hari. Kehidupan masyarakat memiliki keharmonisan antara memenuhi kebutuhan dengan kondisi lingkungan alam. Mematuhi aturan alam dengan sebuah kepercayaan dan tradisi menjadikan hal tersebut sebagai kebijakasanaan/kearifan. Menurut Witt, 2017 Perspektif geografi manusia dapat membantu memperkenalkan kearifan lokal secara geografis karena dapat berkontribusi pada keberlangsungan alam secara canggih dan alamiah. Beberapa ahli geografi berpendapat bahwa kearifan lokal geografis lebih dari sekedar hubungan emosional Wright, 2011. Menurut Suja 2010, kearifan lokal dibedakan menjadi 2 dua yaitu kearifan sosial dan kearifan ekologi. Kearifan sosial menekankan pada pembentukan makhluk sosial menjadi lebih arif dan bijaksana. Kearifan ekologi merupakan pedoman manusia agar arif dalam berinteraksi dengan lingkungan alam. Kearifan lokal ekologi memandang bahwa manusia merupakan bagian dari alam. Kearifan lokal sangat erat kaitannya dengan masyarakat penduduk adat atau masyarakat penduduk asli, alam dan lingkungan setempat Kristiyanto 2017. Kearifan lokal dalam bentuk kepercayaan terhadap sesuatu yang dianggap sebagai hal yang sakral telah menjadikan lingkungan tersebut tetap terjaga keasliannya. Sumber air yang terjaga dengan pemanfaatan secukupnya. Pepohonan yang tetap rindang memiliki peran penting dalam menjaga kelangsungan debit air untuk memenuhi kebutuhan pertanian dan aspek kehidupan. Jika kondisi ini terus berkelanjutan, maka daerah tersebut bisa dimanfaatkan hingga masa mendatang. Kearifan lokal bukan hanya pada kepercayaan terhadap suatu hal, melainkan makna dari kearifan tersebut. Sikap dan perilaku masyarakat layak dicontoh dan diterapkan untuk Kajian kearifan lokal dalam perspektif geografi manusia 8 Geomedia Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian kehidupan sehari-hari oleh masyarakat di tempat lain demi menjaga kelestarian lingkungan untuk masa depan. Kontribusi geografi manusia terhadap kearifan lokal dapat diketahui dalam implementasi kearifan lokal nusantara, seperti Alam Takambang Jadi Guru Minangkabau, Banjar Sari Jakarta, Nyabuk Gunung Sunda, Bersih Desa Jawa, Hamemayu Hayuning Bawono Yogyakarta, Karah Surabaya, Tri Hita Karana Bali, Awig Awig Bali dan NTT, Kassi Kassi Makasar, dan Sasi Maluku, Wijana 2016. Kearifan lokal di atas dapat bertahan sampai masa kini karena eksistensinya peran masyarakat sesuai dengan lokasi masing-masing sehingga mampu untuk menyeimbangkan ekosistem dengan peribahan kondisi alam. Dalam hal tersebut geografi manusia mempunyai peranan yang sangat strategis dalam mempertahankan eksistensi kearifan lokal sesuai dengan perkembangan sosial maupun perubahan alam. Simpulan Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa geografi manusia sebagai suatu subdisiplin besar dalam geografi saat ini mulai mengembangkan analisisnya berkaitan dengan lingkungan, khususnya mengenai kedudukan manusia dalam melestarikan lingkungan. Kajian mengenai pelestarian lingkungan dianggap selalu berkaitan dengan manusia, sebab manusia berkedudukan sebagai faktor penyebab, korban, sekaligus pihak pelaksana dalam upaya pelestarian lingkungan. Secara geografis lokasi mempengaruhi aktifitas dan kebudayaan yang sangat berpengaruh dalam melestarikan lingkungan, hal tersebut yang menyebabkan kearifan lokal disetiap tempat berbeda-beda. Geografi manusia memiliki kontribusi yang cukup berperan dalam eksistensi Kearifan lokal. Hal ini dapat disinergikan dalam rangka mencapai tujuan visioner terhadap manusia dan lingkungan. Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyelesaian artikel ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan Geografi UNY yang telah memberikan masukan dan dukungan. Ucapan terimakasih secara khusus disampaikan kepada Ibu Dr. Hastuti selaku dosen pembimbing yang memberikan arahan dan saran dalam penyusunan artikel ini. Referensi Alanindra, S. 2012. Analisis Vegetasi Pohon di Daerah Tangkapan Air Mata Air Cokro dan Umbul Nila Kabupaten Klaten, Serta Mudal dan Wonosari Kabupaten Gunungkidul.. Yogyakarta Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Ashari, A. 2014. Distribusi Spasial Mataair Kaitannya dengan Keberadaan Situs Arkeologi di Kaki Lereng Timur Gunungapi Sindoro antara parakan dan Ngadirejo Kabupaten Temanggung. Prosiding Mega Seminar Nasional Geografi Untukmu Negeri. Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta. Ashari, A. 2015. Kearifan Masyarakat Jawa Pra Modern di Lembah Progo dalam Pengenalan Bentanglahan untuk Lokasi Permukiman Tinjauan Studi Geoarkeologi. dalam Nasiwan. 2015. Dilema Membangun Manusia Indonesia Memilih Antara Tuntutan Global atau Kearifan Lokal. Yogyakarta FISTrans Institute. Banda, Maria Matildis, 2014. Upaya Kearifan Lokal dalam Menghadapi Tantangan Perubahan Kebudayaan. Bali Universitas 2005. Tinjauan Tentang Perkembangan Pengaruh Local Genius dalam Seni Bangunan Sakral Keagamaan di Indonesia. 25-35 Daldjoeni, N. 1983. Pokok-pokok Klimatologi. Bandung Alumni D’Blij, & Alexander B. Murphy. 1998. Human GeographyCultur, Society, and Space, New York Jhon Wiley & Sons, Inc. Rasti Fajar Peni Riantika dan Hastuti Geomedia Vol 17 No 1 Tahun 2019 Geomedia Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian 9 Fouberg, Murphy, dan de Blij, 2009. Human Geography People, Place and Culture. John Wiley & Sons, Inc. Fellman, Bjelland, Getis, A. & Getis, J., 2008. Human Geography Landscapes of Human Activities. Twelfth Edition, McGraw Hill, New York. Hariyanto, W. 2013. Identifikasi beberapa kearifan lokal dalam menunjang keberhasilan usaha tani padi di Jawa Tengah. Seminar Nasional. Madura. Hobbs, J. J. 2009. World Regional Geography. USA Brooks/ColeKoentjaraningrat. 2003. Pengantar antropologi I. Jakarta PT Rineka Cipta. Kristiyanto, E. N, 2017. Kedudukan kearifan Lokal dan peranan masyarakat dalam penataan ruang daerah. Jurnal RechtsVinding. Vol 6 2 2012. Penanggulangan Sedimentasi Waduk Wonogiri Melalui Konservasi Sub DAS Keduang dengan Pendekatan Vegetatif Berbasis Masyarakat. Tesis. Surakarta Program Pascasarjana Universitas Sebelas 2010. Beberapa Kearifan Lokal Suku Dayak dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam. Disertasi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan lingkungan. Malang Unibraw. Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati. Jurnal Filsafat. 72 111-120. Septiana, Wardoyo, Praptiwi, Ashari, Ashari, A., Susanti, Jainudin., Latifah, F., Nugrahagung, 2019. Disaster Education Through Local Knowledge in Some Area of Merapi Volcano. IOP Conference Series Earth and Environmental Science 271 2019 012011. Setiawati, S., Pramono, H., dan Ashari, A. 2015. Kecerdasan Tradisional dalam Mitigasi Bencana Erupsi pada Masyarakat Lereng Baratdaya Gunungapi Merapi. Socia 12 2 100-110 Suhartini. 2009. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA. Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta. Suja, W. 2010. Kearifan Lokal Sains Asli Bali, Surabaya Paramita. Sumintarsih. 1993. Kearifan Tradisional Masyarakat Pedesaan dalam Hubungannya dengan Pemeliharaan Lingkungan Hidup Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Suparmini. 2013. Pelestarian Lingkungan Masyarakat Baduy Berbasis Kearifan Lokal. Yogyakarta. Jurnal Penelitian Humaniora. Vol. 18. No. 1, April 2013. 2011. Seri Lawasan Pranata Mangsa, Jakarta Kepustakaan Populer Gramedia. Utama, N, Kohdrata. 2011. Modul Pembelajaran Konservasi Keanekaragaman Hayati dengan Kearifan Lokal. Denpasar Tropical Plant Curriculum Project USAID-TEXAS A&M University dengan Universitas Udayana Wijana, N. 2016. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yogyakarta Plantaxia. Witt, shareon. 2017. Fostering geographical wisdom in fieldwork spaces – discovery fieldwork, paying close attention through sensory experience and slow pedagogy. geographical Association in Reflections on Primary Geography. 1-12. Wright, P. 2011. Challenging Assumptions What is a 'human-centred geography'? Stretching the geographical imagination in pursuit of holism. Geography, 96 3, 156-160. Kurangnya kemampuan siswa dalam keterampilan berpikir tingkat tinggi, mengaitkan kearifan lokal dalam pembelajaran serta kurangnya penggunaan media oleh guru berpengrauh terhadap proses dan hasil belajar. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan desain pengembangan, profil dan mengetahui efektivitas video pembelajaran. Jenis penelitian ini adalah penelitian Research and Development R&D dengan model ADDIE. Subjek validasi adalah lima ahli media, lima ahli desain, dan empat ahli materi serta 26 siswa. Subjek uji efektivitas berjumlah 30 siswa dan subjek validasi soal 30 siswa. Data yang diperoleh adalah data kualitatif dan kuantitatif. Data dikumpulkan dengan metode observasi, dokumentasi, angket dan tes. Analisis data menggunakan deskriptif kuantitatif, deskritif kualitatif dan statistik inferensial uji t serta uji effect size. Hasil penelitian adalah 1 deskprisi desain video pembelajaran. 2 profil video pembelajaran 3 evektifitas video pembelajaran melalui uji effect size, hasilnya 2,614 dengan kategori “strong effect”. Dengan demikikan, video pembelajaran geografi SMA berbasis kearfian lokal dapat diterapkan sebagai media pembelajaran untuk meningkatkan High Order Thinking Anang Widhi NirwansyahSutomoDhi BramastaThis study examines the indigenous knowledge and local mitigation of the Banyumas people in Gununglurah village, Central Java, against landslides. Here, the local community practices local mitigation strategies to overcome its impacts based on local beliefs and traditional practical solutions. The method of the study mainly employs field observations and semi-structured interviews with sixteen informants, including twelve villagers, four local leaders at RT/RW level, and two government officers. The research finds how indigenous knowledge is used across core belief systems and fundamental understanding of marking, imitating, and adding. In addition, this study also reveals that farmers have practiced traditional terracing methods nyabuk gunung to plant crops on slope hills. Other than that, Banyumas people are still practicing the usage of the local seasonal calendar for cropping pranata mangsa, as well as community-level vegetative strategies and practices. Finally, the study also addresses the threat of global technology and modernization to local knowledge preservation for the future volcano in Central Java is one of the most active volcanoes in the world. However, the area of Mount Merapi is still occupied by many inhabitants. Population growth in disaster prone areas is also quite high, even after a major eruption disaster in 2010. To reduce disaster risk, disaster education is necessary, including by utilizing local knowledge about disasters. This paper aims to 1 identify disaster education through local knowledge in the western and southern flank of Merapi Volcano, 2 reveals the influence of physical environmental conditions on disaster education that is formed. The research is done by geography approach that is environmental approach and emphasize on the theme of geography especially location, place, and human- environment interaction. The results show 1 There are several forms of disaster education through local knowledge among others in the form of advice, philosophy of life, myths, art, and culture. The educational process is done in various activities of community life, both during pre disaster, disaster, and post disaster. village elders and community leaders are the most influential parties in the disaster education process. However, at present the role of local knowledge in disaster education is relatively poor. 2 There is an influence of the physical environmental conditions on the form of disaster education, especially geomorphological conditions. Geomorphological conditions affect the types of volcanic hazards, thus determining the characteristics of disaster education undertaken. This paper presents alternative methods in disaster education, in an effort to support disaster management that has been done by the SuparminiSriadi Setyawati Dyah RespatiPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji tentang upaya pelestarian lingkungan masyarakat Baduy yang tinggal dan berada di Desa Kanekes, Kecama- tan Leuwidamar, Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Metode deskriptif kualitatif dilakukan sebagai pendekatan penelitian. Kearifan lokal dikaji sebagai basis dalam penelitian ini, khususnya dalam upaya pelestarian lingkungan pada masyarakat Baduy. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, dokumentasi, dan wawancara dengan beberapa narasumber. Analisis data secara kualitatif melalui, reduksi data, penyajian data, dan pengambilan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, Kehidupan suku Baduy masih sangat tergantung pada alam dan senantiasa menjaga keseimbangan alam. Kearifan lokal masyarakat Baduy dalam mengelola sumberdaya alam antara lain terlihat dari aturan pembagian wilayah menjadi tiga zona, yaitu zona reuma permukiman, zona heuma tegalan dan tanah garapan, dan zona leuweung kolot hutan tua. Hubungan antar aspek kehidupan masyarakat Baduy di Kanekes memiliki integrasi yang sinergis dalam menciptakan kehidupan yang berkelanjutan. Pandangan masyarakat Baduy relatif sama terhadap hubungan antara kehidupan sosial budaya, ekonomi, serta pengelolaan lingkungan. Adat istiadat sebagai bagian dari kearifan lokal masih dipegang dengan sangat kukuh oleh masyarakat Baduy, dan adat istiadat tersebut telah menjadi benteng diri bagi masyarakat Baduy dalam menghadapi modernisasi, termasuk dalam hal melestarikan lingkungannya. Bentuk perilaku pelestarian lingkungan dan konservasi yang dilakukan oleh masyarakat Baduy, antara lain meliputi 1 sistem pertanian, 2 sistem pengetahuan, 3 sistem teknologi, dan 4 praktik konservasi. Kesemuanya itu dilakukan dengan mendasar- kan pada ketentuan adat dan pikukuh yang telah tertanam dalam jiwa dan dilakukan dengan penuh kesadaran oleh seluruh anggota masyarakat BaduyEko Noer Kristiyantop>Sebelum pengetahuan modern terkait penataan ruang berkembang pesat, sebenarnya masyarakat asli Indonesia pun telah mengenal konsep penataan ruang yang dalam berbagai diskusi dan penelitian ternyata terbukti efektif dan selaras dengan ilmu pengetahuan modern. Cara pandang serta konsep itulah yang dapat kita artikan sebagai bagian dari kearifan lokal. Tulisan yang disusun dengan tinjauan normatif ini mencoba menjelaskan bagaimana kearifan lokal dapat berperan dalam proses penataan ruang di Indonesia, dan hasil penelitian menunjukkan bahwa di beberapa daerah kearifan lokal sudah diakomodir melalui regulasi daerah, di mana partisipasi masyarakat menjadi sangat penting dalam proses ini, mengakomodir kearifan lokal berarti mengakui juga eksistensi masyarakat hukum adat seperti apa yang dikehendaki oleh konstitusi. Dengankata lain, kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis‑politis, historis, dan situa­sional yang bersifat lokal (Saini, 2005).
PertanyaanKearifan lokal erat kaitannya dengan kondisi geografis suatu masyarakat, nilai-nilai dalam kearifan lokal menjadi modal utama dalam mengarungi kehidupan masyarakat, seperti ....Kearifan lokal erat kaitannya dengan kondisi geografis suatu masyarakat, nilai-nilai dalam kearifan lokal menjadi modal utama dalam mengarungi kehidupan masyarakat, seperti .... Membangun lingkungan yang tertata sesuai dengan kebutuhan mayoritas masyarakat Membangun masyarakat tanpa merusak tatanan sosial dengan lingkungan sosial Kerja sama dengan komunitas lain untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar Melakukan upaya memperbaiki ekonomi masyarakat sekitar lingkungannya Mengadakan pemilihan kepala daerah yang calonnya merupakan putra daerah MRMahasiswa/Alumni Universitas Pendidikan IndonesiaJawabanjawaban yang tepat adalah yang tepat adalah B. PembahasanKearifan lokal terbentuk sebagai budaya unggul dari masyarakat setempat yang berkaitan dengan kondisi geografis, nilai-nilai yang terkandung didalamnya diyakini sangat universal juga menjadi modal utama dalam mengarungi kehidupan masyarakat sehingga dapat membangun masyarakat tanpa merusak tatanan sosial dengan lingkungan sosial. Jadi, jawaban yang tepat adalah lokal terbentuk sebagai budaya unggul dari masyarakat setempat yang berkaitan dengan kondisi geografis, nilai-nilai yang terkandung didalamnya diyakini sangat universal juga menjadi modal utama dalam mengarungi kehidupan masyarakat sehingga dapat membangun masyarakat tanpa merusak tatanan sosial dengan lingkungan sosial. Jadi, jawaban yang tepat adalah B. Perdalam pemahamanmu bersama Master Teacher di sesi Live Teaching, GRATIS!33rb+Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!BBBoger BojinovIni yang aku cari!
Sehubungandengan hal ini, maka muatan lokal yang terkait dengan keadaan daerah ini menyangkut aspek geografi dan aspek sosial budaya. Aspek geografi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan lingkungan alam daerah yang memberikan pengaruh signifikan pada pola hidup masyarakat, seperti iklim dan curah hujan, kesuburan tanah, luas dan bentuk – Geografis merupakan istilah yang sudah tidak asing didengar. Istilah geografi berasal dari bahasa Yunani “geo” yang berarti bumi dan “graphy” yang berarti menulis. Sehingga geografi mengajarkan manusia mempelajari bumi tempat mereka tinggal dan kondisi di dalamnya. Bumi memiliki karakteristik geografis yang berbeda di setiap daerahnya. Ada kutub utara dan kutub selatan yang diselimuti es sepanjang tahun, ada daerah gurun, ada daerah pegunungan, ada lautan, ada hutan hujan dan lanskap geografis geografis suatu wilayah dapat mempengaruhi kehidupan sosial budaya. Hal ini mampu membentuk kehidupan sosial masyarakat. Dilansir dari National Geographic, sistem fisik dan karakteristik lingkungan tidak dengan sendirinya menentukan pola aktivitas manusia, namun memengaruhi dan membatasi pilihan yang dibuat orang. Berikut pengaruh karakteristik geografis, yaitu Perbedaan siang dan malam Posisi geografis di bumi sangat memengaruhi kehidupan sosial maupun budaya. Misalkan Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa dan Islandia yang terletak dekat dengan kutub utara. Baca juga Karakteristik Geografis Malaysia Letak geografisnya membuat Indonesia memiliki siang selama 12 jam, tetapi Islandia hanya memiliki siang selama 3-5 jam. Hal tersebut membuat masyarakat Islandia harus beradaptasi dengan kegelapan. Mereka bangun dibantu dengan alarm, karena matahari tidak muncul saat pagi. Mereka menyalakan lampu dalam waktu yang lama, sehingga pemerintahnya juga menyediakan listrik dengan murah. Orang Islandia terbiasa melakukan segala macam aktivitas dalam kondisi gelap seperti malam. Sedangkan di Indonesia, sinar matahari bisa membantu manusia untuk bangun. Pergi sekolah, bekerja, berolahraga, dan bertemu teman dalam kondisi langit yang terang. Lalu saat malam gelap datang, seseorang bisa beristirahat. Terdapat perbedaan aktivitas siang dan malam. Namun, di Islandia matahari tidak bisa dijadikan patokan aktivitas. Perbedaan iklim Di bumi, menurut kondisi geografisnya masing-masing daerah dibagi ke dalam empat iklim. Keempat iklim tersebut adalah iklim tropis, iklim subtropis, iklim sedang, dan iklim dingin. Dilansir dari Sociology Discussion, iklim memberikan pengaruh yang tidak dapat disangkal misalnya jenis pakaian yang digunakan. Baca juga Karakteristik Geografis ThailandJenis pakaian digunakan agar manusia bisa bertahan dalam kondisi iklim. Selain jenis pakaian, iklim juga memengaruhi sistem transportasi, masa panen dan bercocok tanam, infastruktur, juga keperluan rumah tangga untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan. Iklim juga memangaruhi kebudayaan manusia, misalnya pemakaman. Misalnya di daerah yang dingin dan dilapisi es, penguburan dalam tanah sulit dilakukan. Tanah yang jarang dan kondisi yang dingin membuat jenazat sulit terdekomposisi. Di Tibet yang dingin bahkan ada suatu kebudayaan yang disebut pemakaman langit. Yaitu pemakaman dengan cara memberikan jenazah pada burung nasar untuk dimakan agar orang tersebut bisa pergi ke surga dengan tenang. Topografi Dilansir dari Sciencing, topografi merupakan strudi tentang relief yang menggambarkan ketinggian dan elemen geografis seperti sungai, danau, gunung, juga kota. Kondisi topografi kota cenderung mudah dijamah sehingg orang dari luar bisa masuk bersama dengan teknologi juga kebudayaannya. Hal tersebut membuat kota cenderung lebih maju dan dihuni oleh heterogen dengan kebudayaan yang berbeda. Adapun kondisi topografi yang sulit dijamah, misalnya daerah pegunungan tinggi atau pedalaman hutan tanpa jalan utama. Daerah tersebut cenderung terisolasi dari lingkungannya, membuat orang dari luar susah untuk menjangkaunya. Daerah tersebut cenderung masih belum maju karena sulit terjangkau teknologi. Masyarakatnya juga cenderung homogen dengan kebudayaan yang masi kental. Baca juga Karakteristik Geografis Singapura Ketersediaan air Seseorang yang tinggal di daerah cukup air bersih, akan menganggap air seperti hal biasa. Mereka menggunakan air untuk kebutuhan hidup dan juga kebersihan. Toilet menjadi sumber air yang bersih, beberapa daerah bahkan air kerannya bisa diminum. Mandi juga menjadi suatu kebiasaan wajib bagi mereka. Namun di daerah yang kekurangan sumber air bersih, air dianggap dengan barang yang sangat berharga. Mereka harus jalan berkilo-kilometer untuk mendapatkan air yang belum tentu bersih. Sehingga penggunaan air juga dilakukan seminimal mungkin. Mereka jarang mandi, air digunakan untuk kebutuhan yang lebih esensial seperti minum dan memasak. Hal ini membuktikan bahwa kondisi geografis bukan hanya mempengaruhi pola hidup dan budaya, melainkan juga persepsi seseorang terhadap sesuatu. Baca juga Jenis-Jenis Pekerjaan Berdasarkan Letak Geografis Ketersediaan sumber makanan Kondisi geografis memengaruhi ketersediaan sumber makanan seperti hewan dan tumbuhan. Masyarakat yang tinggal di pegunungan, memiliki berbagai tumbuhan dan hewan darat untuk dikonsumsi. Masyarakat yang tinggal di pantai, cenderung mengonsimsi lebih banyak ikan dan hasil laut. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. . 452 249 168 28 77 119 242 103

kemukakan hubungan antara kearifan lokal dan kondisi geografis